Dewan Perwakilan Daerah (DPD)Rabu (29/3), membentuk Pansus Freeport. “Prioritas kita, masing-masing tim segera menangani masalah aktual,” tekan Edwin Kawilarang (anggota DPD asal Sulawesi Utara), yang juga Ketua Panitia Kerjasama Antar-Lembaga Perwakilan DPD di depan anggota rapat Pansus di Gedung B DPD, Kompleks DPD, Jakarta.
Ia menambahkan, langkahitusebagai concern atau bentuk perhatian DPD dalam mengambil bagian menyelesaikan masalah Papua dewasa ini. Ia memisalkan, kalau pemerintah sudah mengirim tim meninjau KK PTFI, maka sebagai lembaga perwakilan daerah DPD tidak boleh ketinggalan. “Kita harus susun jadwal kerja secepatnya dan mulai bekerja sejak reses DPD,” sambung dia.
Karena itulah, selama 30 hari masa reses anggota DPD yang diisi dengan kegiatan setiap anggota DPD kembali ke masing-masing daerah pemilihan, dimanfaatkan Pansus untuk menyerap aspirasi masyarakat dengan mengunjungi Papua. “Maksimal tiga bulan diharapkan bisa selesai. Tetapi kalau bisa sebulan, mengapa tidak.”
Pansus beranggotakan 19 anggota, dengan para anggota seluruh anggota DPD asal Provinsi Papua dan seluruh anggota DPD asal Irian Jaya Barat, ditambah anggota alat-alat kelengkapan DPD, yakni Panitia Ad Hoc I (yang salah satu lingkup tugasnya adalah otonomi daerah), PAH II (sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya), PAH III (pendidikan, kesehatan), PAH IV (keuangan dan anggaran pembangunan dan belanja negara).
Masa reses sebulan penuh mulai 29 Maret hingga 30 April akan berakhir ditandai dengan pembukaan Sidang Paripurna DPD dengan acara antara lain penyampaian hasil kegiatan anggota DPD di daerah dari setiap provinsi, Senin (1/5) nanti. Jika Pansus berhasil merampungkan pekerjaannya, maka keluaran Pansus akan disampaikan kepada pemerintah saat DPD memasuki masa sidang setelah masa reses.
“Keluaran Pansus DPD untuk Papua nanti berupa usulan langkah-langkah konkrit untuk menyelesaikan masalah Papua secara konprehensif,” jelas Edwin, menjawab pertanyaan anggota-anggota Pansus.
Marwan Batubara (DKI Jakarta) menambahkan, tugas Pansus adalah mencari informasi seluas dan seobjektif mungkin di segala aspek tanpa terkecuali. Hasil pencarian informasi kemudian direkomendasikan kepada pemerintah.
Pendapat serupa disampaikan Marcus Louis Zonggonao (Papua), Ishak Pamumbu Lambe (Sulawesi Selatan), Marhany VP Pua (Sulawesi Utara), dan Benny Horas Panjaitan (Kepulauan Riau). Marcus mengatakan, kekacauan di Papua sudah meluas sehingga aparat keamanan merasa membutuhkan tambahan personil. “Karena itulah, keamanan menjadi faktor pertama.”
Masalah keamanan, lanjut Lambe, tersangkut penegakan hak asasi manusia, politik, dan hukum. Maka, pencarian informasi untuk menciptakan keamanan pasca-peristiwa Abepura merupakan pekerjaan berat Pansus.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut, Toni kemudian mengatakan bahwa masalah keamanan di Papua sudah identik dengan kehadiran aparat TNI dan tindak kekerasan, padahal sesuai UU Otonomi Khusus masalah kemananan harusnya cukup ditangani aparat Polri. Menurutnya, saat ini yang dihadapi Papua bukan ancaman keamanan dari luar tetapi keamanan masyarakat Papua. “Pelanggar HAM harus ditindak untuk menguatkan perasaan orang Papua terhadap NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia),” ujarnya.
Mengenai pendanaan, Edwin menegaskan, Pansus tidak akan menggunakan dana pihak lain, kecuali dana milik DPD sendiri. “Kalau perlu dari kantong sendiri.” (dina)