Kasus kekerasan yang terjadi berulang-ulang di Institut Pemerintahan Dalam Negeri merupakan bentuk pelanggaran HAM, namun untuk mengungkapnya harus menggunakan mekanisme hukum sesuai ketentuan dalam KUHP, karena untuk kasus pelanggaran Ham murni belum ada cara penyelesaian yang jelas.
Demikian pernyataan yang disampaikan oleh Dirjen Perlindungan HAM Departemen Hukum dan HAM Harkristuti Harkrisnowo di sela-sela Lokakarya mengenai HAM antara Indonesia-Swedia, di Hotel Shangri-La, Jakarta, Selasa(17/4).
"Ya itu kasus di IPDN itu merupakan pelanggaran HAM, dan sebagian besar pelanggaran hukum itu merupakan pelanggaran Ham, dan untuk kasus ini kita harus melihatnya lebih dari satu kasus pelanggaran hukum, "jelasnya.
Menurutnya, dalam penyelesaian kasus pelanggaran Ham, dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, membuka kesempatan jalur penyelesaian dengan berbagai mekanisme, kecuali yang sudah masuk ke dalam sektor tertentu, seperti pelanggaran Ham dibidang ketenagakerjaan, atau menyengkut keadilan itu mempunyai mekanisme sendiri.
Senada dengan itu, Koordinator Badan Pengurus Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Usman Hamid menilai tindak kekerasan di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) setara dengan pelanggaran HAM berat, sehingga perlu dilakukan langkah penyelidikan dan perbaikan yang serius.
"Praktik kekerasan di IPDN telah mengarah pada tindakan pelanggaran HAM berat, yakni pelanggaran terhadap hak hidup dan hak untuk tidak disiksa, "katanya.
Menurutnya, tindak kekerasan di IPDN telah mencapai titik yang serius, karena telah terjadi dengan pola yang secara tidak langsung dilegalkan secara sistemik. Dan hal itu menjadi lebih parah, karena kekerasan itu justru terjadi di lembaga pendidikan sipil yang seharusnya memajukan tujuan pendidikan yang mulia dengan menyediakan pemimpin pemerintahan yang profesional, demokratis, dan bewawasan kenegarawanan.
Ia menambahkan, penyimpangan perilaku para praja di IPDN tidak hanya disebabkan karena lemahnya kontrol dari penyelenggara pendidikan di kampus tersebut, selain itu juga disebabkan kesalahan sistematis yang dilakukan pemerintah, dengan membiarkan IPDN menyelenggarakan pendidikan setara S1 atau diploma, tidak sesuai dengan ketentuan UU Pendidikan Nasional yang menegaskan lembaga kedinasan hanya diperbolehkan memberikan pelatihan tambahan.(novel)