Pemilu 2009 dengan sejumlah agenda semarak kampanye sudah di depan mata, kampanye yang dilakukan oleh partai politik untuk mendulang suara yang banyak terkadang melupakan kaidah dan aturan yang ditetapkan. Bukan hanya menggunakan jargon agama, terkadang tempat ibadah pun dipakai untuk melakukan konsolidasi massa partai politik.
Meski UU Pemilu sudah memberikan penegasan tentang tempat mana yang tidak boleh digunakan sebagai ajang berkampanye, Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Nasaruddin Umar meminta, partai politik tidak menggunakan masjid sebagai tempat kampanye atau pemasangan atribut parpol.
"Saya tidak setuju kalau masjid digunakan sebagai arena kampanye. Sebaiknya jadikan masjid itu sebagai oasis yang bebas dari berbagai kepentingan sesaat. Semua orang yang masuk masjid bebas, apapun juga, sama dengan Gerejakan. Masjid harus memberikan kesejukan, tapi kalau kita berikan semacam warna-warna politik tertentu, nanti gak enak. Apalagi kalau pakai baju politik di dalam menyampaikan khutbah, itu akan menimbulkan resistensi dan akhirnya masjid ikut berpolitik, " ujarnya di sela-sela Coffe Morning dengan wartawan, di Operationroom, Departemen Agama, Jakarta, Selasa (15/7).
Menurutnya, sampai hari belum ada batasan yang jelas mengenai larangan penggunaan masjid untuk tempat berkampanye, karena seringkali kegiatan kampanye dan pemasangan atribut dilakukan di halaman masjid.
"Sampai hari ini belum ada ya, baik hanya sekedar laporan masjid ini digunakan untuk mengumpulkan massa dihalamannya. Penggunaan halaman masjid, itu perlu dipahami, apakah masjid sama dengan halaman masjid, misalnya Masjid Istiqlal halamannya sering dijadikan tempat konsolidasi, begitu juga Masjid Al-Azhar tempat konsolidasi oleh bendera-bendera sosial politik, nah persoalannya ke depan perlu dirumuskan apakah masjid termasuk halamannya. Tapi kalau menurut saya toh halaman itu juga termasuk masjid, " paparnya.
Sehubungan dengan kegiatan politik menjelang pemilu, Nasaruddin mengatakan, Menteri Agama M. Maftuh Basyuni secara tegas melarang pejabat atau jajaran didepartemennya mengikuti kegiatan kampanye dengan membawa nama instansi Departemen Agama. Karena misinya, Depag bukan terkait dengan kegiatan politik, namun memberikan pencerahan kepada seluruh pemeluk agama di Indonesia.
"Kami juga ikut memantau nanti tapi aparat kami di bawah, kami sudah mewanti-wanti jangan sampai ada aparat kami yang ikut berkampanye, Pak Mentri Agama sudah menegaskan haram bagi aparatnya untuk melakukan kampanye apalagi menggunakan atribut departemen, " ujarnya.
Euforia Demokrasi Meningkatkan Angkat Perceraian Meningkat
Dalam kesempatan itu, Dirjen Bimas Islam juga menyinggung meningkatnya angka perceraian, euforia pelaksanaan demokrasi seperti Pilkada, disinyalir juga menjadi salah satu penyebab tingginya angka perceraian selain 26 faktor lainnya. Tercatat pasca pelaksanaan Pilkada tahun 2005 angka perceraian mencapai 157 pasangan.
"Saya juga mengimbau kepada masyarakat kita urusan politik itu adalah urusan sesaat, sementara keluarga itu urusan seumur hidup, bahkan sampai akhirat. Jangan memancing perbedaan visi misi dalam keluarga, " tukasnya.
Untuk menimimalisir kenaikan angka perceraian yang mencapai 200 ribu pertahun di enam kota besar, Ia mengatakan, pihak akan menggiatkan kembali pendidikan pra nikah bagi para calon pengantin untuk memperoleh sertifikat. (novel)