Direktur Eksekutif Chalid Muhammad mengakui keberadaan pertambangan yang dikelola oleh PT. Freeport selama ini telah menimbulkan kerusakan lingkungan di Papua, hal ini terjadi karena banyak limbah buangan yang dialirkan langsung ke sungai.
"Kompensasi yang selama ini diberikan oleh Freeport tidak sebanding dengan kerusakan yang disebabkan oleh pencemaran lingkungan," katanya di sela diskusi bertema "Perlukah Freeport Ditutup?" di Gedung DPR, Jakarta, Jum’at (03/03/06).
Menurutnya, total pendapat yang diperoleh negara dari seluruh kegiatan pertambangan hanya mencapai 17 trilyun pertahun, hal itu lebih kecil dibandingkan total pendapatan negara dari pendapatan TKI, yang dalam setahunnya mencapai 25 trilyun rupiah.
Lebih lanjut Ia menegaskan, kontrak kerja yang selama ini dipakai adalah kontrak yang sudah disiapkan oleh kuasa hukum Freeport, dan sampai sekarang dijadikan acuan kontrak kerja di Indonesia.
Ia menjelaskan, selama PT. Freeport beroperasi di Papua, TNI setiap tahun mendapat dana dari Freeport, antara lain pada tahun 2004 Freeport memberikan dananya sebesar 6,9 juta US Dollar, sedangkan pada tahun 2003 Freeport memberikan 5,9 juta US Dollar serta pada tahun 2002 sebesar 5,6 juta US Dollar.
"Wajar saja kalau Freeport di-back up TNI, dengan dalih Industri strategis dan vital harus dilindungi,"tegasnya.
Sementara itu di tempat sama, Pengamat Politik LIPI Ikrar Nusa Bakti mengatakan, sebaiknya pemerintah Indonesia melakukan konsolidasi ke dalam untuk menghadapi tekanan dari Freeport, sebab Freeport telah menegaskan tidak akan menaikan kompesasinya untuk masyarakat Papua.
"Freeport sadar bahwa pihaknya memiliki posisi yang lebih kuat dari Indonesia," ujarnya.
Ia menambahkan, aspirasi yang berkembang di lapangan soal Freeport sangat beragam, hal itu justru akan melemahkan posisi tawar Indonesia terhadap Freeport.(novel)