“Sejujurnya sampai saat ini saya belum menceritakan tentang kasus yang sedang saya hadapi. Mungkin mereka mengetahui saya sibuk bekerja,” tutur Asrul dengan nada berat.
Waktu menunjukkan pukul 20.00 WIB atau sekitar pukul 21.00 WITA saat Asrul menghubungi saya lewat pesan singkat.
Dia berkirim pesan sedang bersiap berangkat ke Pengadilan Negeri Palopo pada Minggu (15/8/2021).
Keesokan harinya dia akan menghadapi sidang lanjutan dengan agenda mendengarkan keterangan ahli Dewan Pers dan Bahasa yang dihadirkan oleh JPU.
“Doakan ya semoga lancar sidangnya,” singkat Asrul.
Pers belum merdeka
PERKARA yang dihadapi Asrul menambah daftar panjang kasus kekerasan terhadap profesi jurnalis di Indonesia.
Padahal, kemerdekaan pers merupakan syarat mutlak untuk mendorong pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi.
Bagaimana mungkin pemerintahan yang bersih ini bisa tercipta, jika produk-produk jurnalisme dikriminalisasi semacam ini.
“Pada peringatan HUT ke-76 kemerdekaan RI ini, kami sebenarnya ingin menyampaikan ke pemerintah, ke presiden dan aparat penegak hukum bahwa teman-teman jurnalis masih belum merdeka dari kekerasan,” kata Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Sasmito Madrim.
Sasmito menilai, pemidanaan terhadap Asrul menjadi preseden buruk bagi kebebasan pers di Indonesia.
Sengketa pers sudah semestinya diselesaikan dengan mekanisme sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Pers.
Di lain sisi, apa yang dialami oleh Asrul menurut Sasmito juga semakin memperpanjang daftar penyalahgunaan Undang-Undang ITE untuk menjerat jurnalis dalam karyanya. Sekaligus, mengancam sikap kritis warga terhadap dugaan kasus korupsi.
“AJI Indonesia dalam kurun waktu tiga hari kedepan ini mulai tanggal 16,17, dan 18 Agustus kita ingin mengkampanyekan tentang merdeka dari kekerasan. Ada beberapa hal yang ingin kita coba ingatkan ke pemerintah dan presiden terkait kasus-kasus yang menjadi perhatian AJI. Seperti kasus kekerasan terhadap jurnalis Tempo, Nurhadi dan beberapa teror yang dialami jurnalis di Papua,” katanya.
Sekitar pukul 15.30 WIB sehari sebelum Indonesia genap merdeka diusia ke-76, ponsel di saku saya kembali bergetar.
Pesan singkat datang dari Asrul. Dia mengabarkan persidangan telah selesai. Saat mengirim pesan, dia tengah dalam bus perjalanan kembali menuju rumahnya di Makassar.
“Doakan semoga perkara saya cepat selesai dan hati nurani majelis hakim terbuka untuk memvonis bebas. Setidaknya ini akan menjadi kado kemerdekaan, bukan untuk saya semata. Tapi untuk profesi jurnalis dan kebebasan pers di Indonesia.”[suara]