Dipenjara karena Berita, Apa Artinya Merdeka Kalau Masih Ada UU ITE?

“Ada orang mengaku dari Polda mencari abang,” bisik Andi kepada Asrul.

Asrul bergegas berdiri, lalu berjalan menuju pintu. Dalam pikirannya, dia sudah mengetahui kehadiran ketiga penyidik berkaitan dengan laporan yang dilayangkan Farid Judas.

“Ini surat panggilan pemeriksaan,” kata penyidik seraya menunjukan surat tersebut kepada Asrul. Pada surat tersebut tertera keterangan Asrul sedianya dipanggil untuk diperiksa sebagai saksi.

Asrul kemudian meminta izin kepada penyidik untuk sejenak menemui istrinya. Dia berjalan kembali menemui istrinya. Mencoba menenangkan, seakan tak ada masalah.

“Abang sebentar mau ke Polda. Ada urusan,” ucapnya.

Perlahan Asrul dan ketiga penyidik berjalan menuju mobil. Di tengah perjalanan dia melihat Kasubdit Siber Ditreskrimsus Polda Sulawesi Selatan. Dia mengenal sosok tersebut karena beberapa kali bertemu tatkala meliput di Polda Sulawesi Selatan.

“Tapi ternyata saya dibawa dengan mobil yang berbeda dengan Kasubdit Siber itu,” ujar Asrul.

Sekitar pukul 15.30 WITA Asrul tiba di Polda Sulawesi Selatan. Dia langsung menjalani pemeriksaan. Waktu berjalan menujuk pukul 20.30 WITA. Lima jam Asrul diperiksa tanpa didampingi pengacara.

Asrul sedikit lega, dalam pikirannya, mengira bisa kembali pulang, menemui anak dan istrin. Melanjutkan kembali kehangatan yang sempat didinginkan oleh kehadiran ketiga penyidik.

Namun, kenyataan berkata lain. Asrul tak diperkenankan pulang. Dia langsung ditetapkan sebagai tersangka dan digelandang ke Rutan Polda Sulawesi Selatan tanpa pemberitahuan kepada pihak keluarga.

Keesokan harinya, pada 31 Januari 2020 penyidik baru memberikan kabar lewat Surat Pemberitahuan Penahanan Nomor: B/70/I/2020/Ditreskrimsus Polda Sumsel.

“Sepuluh tahun saya berprofesi sebagai jurnalis, baru kali ini merasakan bui karena sebuah pemberitaan,” ungkapnya.

Butuh tiga hari tubuh Asrul menyesuaikan dengan keadaan di sel Rutan Polda Sulawesi Selatan.

Dinginnya lantai, lembabnya udara, dan sulitnya air. Tubuhnya meringkuk di antara penghuni tahanan lain. Mulutnya menolak setiap makanan yang masuk. Dalam hati dan pikirannya hanya tertuju pada anak dan istri.

“Tiga hari saya enggak bisa makan. Tidur ya hanya tidur ayam,” katanya.

Tiga puluh enam hari sejak Asrul ditahan, dia akhirnya dibebaskan. Tepat pada 5 Maret 2020 Asrul dibebaskan setelah penangguhan penahanannya dikabulkan.

Permohonan itu dikabulkan setelah Dewan Pers melayangkan surat ke Polda Sulawesi Selatan.

Surat tersebut salah satunya berisi pernyataan yang menegaskan tulisan Asrul merupakan karya jurnalistik.

Jadi, segala sengketa yang muncul karena karya itu, harus diselesaikan memakai mekanisme yang berlaku sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Meski penangguhan penahanan itu dikabulkan, perkara yang menjerat Asrul tetap lanjut. Hingga kekinian, perkara ini masih berlangsung di Pengadilan Negeri Palopo. Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa Asrul dengan pasal berlapis.

Dia didakwa menyebarkan berita bohong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946.

Kemudian menyebarkan ujaran kebencian dalam Pasal 28 Ayat 2 dan pencemaran nama baik Pasal 27 Ayat 3 sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau ITE. Asrul diancam dengan hukuman maksimal 10 tahun penjara.

Digugat cerai

Perkara tudingan pencemaran nama baik yang dilayangkan Farid Judas berdampak panjang bagi kehidupan Asrul.

Semenjak berkasus di Polda Sulawesi Selatan, Asrul tidak lagi bekerja. Dia bahkan sempat dilarang menulis dan bermedia sosial selama proses hukum yang menjeratnya ditangani penyidik Ditreskrimsus Polda Sulawesi Selatan.

Belakangan Asrul sempat ditawarkan perkerjan di salah satu media lokal di Makassar. Tawaran itu datang seusai kasusnya dilimpahkan ke Kejaksaan.

Namun, Asrul menolak. Dia ingin terlebih dahulu fokus menghadapi perkara yang tengah dihadapinya ini.

Proses persidangan atas kasus dugaan pencemaran nama baik yang dihadapi Asrul di Pengadilan Negeri Palolo belum juga selesai.

Kini Asrul dihadapi satu perkara lainnya di Pengadilan Agama. Dia digugat cerai oleh istrinya. Dalih sang istri menggugat cerai karena faktor ekonomi.

“Saya tidak mau terlalu dalam membahas ini. Karena dia juga sudah menikah siri dengan pria lain. Bahkan yang saya tahu, mereka juga sudah memilik anak,” tutur Asrul.

Sejak digugat cerai sang istri, Asrul kembali ke kediaman orang tuanya. Sehari-harinya, Asrul kembali terpangku kepada orang tua.

Satu-satunya sepeda motor matik Yamaha Soul milik Asrul telah dijual. Uang senilai Rp 7 juta hasil penjualannya digunakan untuk biaya oprasional selama masa persidangan.

Dari Makassar ke Pengadilan Negeri Palopo, Asrul biasa menggunakan bus dengan ongkos sekitar Rp500 ribu pulang-pergi berikut makan dan biaya lainnya.

Perjalanan dia tempuh selama hampir delapan jam. Asrul selalu berangkat satu hari sebelum agenda persidangan berlangsung.

Saat ini satu-satunya yang terus terpikiran oleh Asrul ialah kabar kedua anaknya. Sejak Ramadhan tahun lalu hingga kekinian dia belum pernah bertemu dengan kedua anaknya.

Dia dikaruniai anak laki-laki yang kekinian masih berusia 11 tahun. Sedangkan yang terkecil, perempuan dengan usia 6 tahun.