Para ulama dalam memutuskan sebuah fatwa hendaknya perlu mempertimbangkan kondisi masyarakat, persoalan halal haram apalagi yang menyangkut dosa tidak mesti selalu dilihat dari hukum fikih, tetapi cukup dengan pendekatan akhlak dan dakwah.
Hal itu diungkapkan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof. Dr. Din Syamsuddin menanggapi keluarnya fatwa haram MUI tentang golput, di Palembang. Meskipun fatwa merupakan kewenangan ulama, Din mengingatkan, para ulama harus arif dan bijaksana, dan selalu memperhatikan kondisi masyarakat. “Seperti golput misalnya, tidak semua bisa dikaitkan dengan hukum agama halal dan haram, “ ujarnya.
Ia pun mengingatkan kepada masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya, sebagai manifestasi warga negara yang baik, dan memiliki tanggungjawab moral untuk melakukan perubahan lebih baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Akan tetapi bagi yang setuju dengan fatwa MUI bisa mengamalkannya, namun bagi yang tidak setuju boleh mengabaikannya. "Nggak perlu kontroversi, nggak perlu ribut-ribut”, tambah Din yang juga Guru Besar Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
Lebih lanjut Ia mengatakan, seharusnya MUI mengeluarkan fatwa-fatwa prioritas, yang berkaitan dengan persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia. Dicontohkannya, fikih bagaimana meningkatkan daya saing bangsa. Bagaimana cara memerangi kemalasan, dan sejenisnya. Bukan fatwa yang bersifat ad hoc atau kontroversi.
Sementara itu, pakar politik Prof. Dr. Bahtiar Effendy mengatakan, bahwa para ulama mungkin memang memiliki tujuan yang baik agar masyarakat ikut pemilu, sehingga masyarakat berperan dan kesinambungan kepemimpinan terjamin. Namun menurutnya MUI sedikit berlebihan. Karena menurutnya, memilih dan tidak memilih itu hak setiap warga negara. Jadi tidak bisa diwajibkan. Terlebih kewajiban itu mengandung konsekuensi hukum.
Sebaiknya MUI mencabut fatwa itu, dan menggantikannya dengan anjuran, himbauan bahwa rakyat Indonesia sebaiknya ikut berpartisipasi dalam pemilu, dengan alasan untuk kelancaran praktek demokrasi di Indonesia. “Tak ada salahnya MUI mencabut fatwa seperti itu. Dalam negara yang berdemokrasi seperti kita, tak diperlukan lagi fatwa-fatwa seperti itu, Masak, saya tak memilih dalam pemilu kemudian dianggap berdosa,” ujarnya.
Di tempat terpisah, Juru Bicara Jamaah Muslimin (Hizbullah) Ali Farkhan Tsani dalam siaran persnya meminta supaya MUI mencabut fatwa haram golput karena tidak berlandaskan dalil yang kuat baik dari Al-Quran, As-Sunnah, maupun contoh Khalifah Rasyidin Al-Mahdiyyin.
"Ulama hendaklah takut kepada Allah dan berhati-hati betul dalam menetapkan suatu fatwa, haruslah semata-mata berdasarkan pertimbangan nash yang qath’i Al-Quran dan As-Sunnah. Bukan pertimbangan keinginan, rasio apalagi kepentingan politis," tandasnya.
Menurutnya, pemilu merupakan bagian praktik demokrasi politik yang merupakan produk akal manusia bukan syari’at Islam wahyu Allah SWT. Menarik-narik masalah politik ke dalam syari’at Islam melalui fatwa haram golput, lanjut Farkhan, bertentangan dengan nash syari’at Islam. Terutama surat Al-Hujurat ayat 1, Fathir ayat 28, An-Nisa ayat 59, Al-Hujurat ayat 1, Al-Anbiya ayat 107, dan An-Nahl ayat 116.
"Di samping itu, memfatwakan haram golput dalam Pemilu, berarti mengkerdilkan syari’at Islam yang bersifat rahmatan lil ‘alamin," katanya.
Ali Farkhan memaparkan, kepemimpinan khas Islam adalah sistem Khilafah yang dipilih dari dan oleh kalangan internal umat Islam. Sedangkan sistem Demokrasi bukan kepemimpinan khas Islam, akan tetapi hak pilih politik warga negara yang terdiri dari berbagai pemeluk agama.
Lebih lanjut, Ia menyatakan, rujukan kebenaran dalam sistem kepemimpinan Islam adalah Al-Quran dan As-Sunnah, sementara rujukan dalam sistem politik demokrasi adalah suara terbanyak. (Novel)