Pengkategorian Islam ke dalam kelompok-kelompok misalnya liberal dan radikal memang tidak bisa dihindari, tetapi apabila hal ini diteruskan akan sangat berbahaya, sebab dapat berujung pada labelisasi terhadap pengikut kelompok tersebut.
"Kategorisasi itu sangat berbahaya, kerancuan kategorisasi ini nyaris menjadikan labelisasi misalnya liberal atau radikal, ini sangat salah kaprah, " kata Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin dalam talkshow di sela-sela Festival Wajah Muslim Indonesia, di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Depok, Kamis (24/7).
Menurutnya, geliat Islam pada masa reformasi ini merupakan sebuah proses yang sedang terjadi, sangat tidak tepat bila sudah dimunculkan citra tertentu terhadap Islam di Indonesia.
Meskipun demikian, Din mengakui, pasca peristiwa 11 September muncul citra negatif dari Islam, dan hal ini sebagai akibat dari pengkategorian yang akhirnya menjadi sebuah generalisasi. Hal yang dicoba, diluruskannya pada saat mengadakan pertemuan dengan berbagai tokoh dunia.
Din menyatakan, setuju apabila Islam Indonesia dikatakan Islam yang inklusif secara total, tidak anti dengan ‘kelompok garis keras’ dan juga sinisme terhadap syariat. Dalam arti sangat menghargai kemajemukan dan pluralitas yang sangat proporsional.
"Pluralitas yang padanannya dengan pluralisme ini sering dibelokan bahwa semua agama sama, bermuara pada satu Tuhan, kebenaran agama relatif, ini sangat berbahaya. Pluralisme proporsional menurut Islam adalah lakuum dinukuum waliyadin, " ujarnya.
Sebelumnya, Dosen Sastra Arab Universitas Indonesia Abdul Muta’ali mengatakan, Islam Indonesia sangat dipengaruhi dua tipologi dengan pengalaman yang berbeda yakni, pertama Islam sebagai agama terkait dengan status keyakinan, dan kedua Islam santri di mana komunitas ini banyak di pesantren/ Ma’had yang mempertahankan budaya mereka.
Namun, lanjutnya, dari keduanya ada kecenderungan kelompok pertama itu dianggap kelompok kedua adalah mereka yang ternoda keyakinannya, namun kelompok pertama itu sangat mendominasi dalam pembuatan kebijakan publik.
Kebijakan publik dibuat sesuai dengan paradigma keIslaman kelompok mereka, sehingga dianggap kelompok kedua mengecewakan mereka, akhirnya kelompok kedua terpanggil untuk memperjuangkan itu ditingkat grassroot.
"Menurut saya kedua-duanya tidak benar, harus diluruskan, bahwa Islam itu universal tidak bisa mendikotomi urusan dunia dan akhirat, " imbuhnya.(novel)