Dikotomi Ilmu, Awal Kerancuan Muslim Menjadi Sekularis

Tidak syak lagi bahwa sampai saat ini pengajaran ilmu pengetahuan di dunia Islam masih mengalami dikotomi; ada ilmu “agama” dan ilmu “umum. ” Ini adalah kategorisasi yang confusion (rancu).

Akan tetapi, itulah kenyataannya di lapangan. Ketika seseorang belajar ilmu agama di pesantren atau madrasah, maka penguasaan ilmu umumnya pas-pasan, sedangkan mereka yang belajar ilmu umum di sekolah atau kampus-kampus umum, maka penguasaan ilmu agamanya sedikit dan kurang dapat difungsikan.

Tragedi demikian terjadi tidak saja di sekolah dasar, tapi secara hirarkis terjadi sekolah menengah dan perguruan tinggi. Inilah sekularasasi pendidikan secara sistemik dan ampuh terhadap umat Islam oleh para orientalis Barat, yang selanjutnya dilanjutkan para ’murid’ mereka.

Pada zaman pra kemerdekaan, mereka datang mengajari bangsa ini tentang budaya, ekonomi, seni, politik dan etika versi mereka. Sejumlah anak bangsawan dikirim ke Belanda untuk belajar ilmu ekonomi, kedoketaran, sastra, tata negara, dan hukum khas Barat. Bahkan kajian terhadap kitab-kitab politik, misal Al-Ahkam al-Sultaniyah karya al-Mawardi dilarang. Mereka khawatir dan takut bila umat Islam melek politik.

Kondisi saat ini tak jauh berbeda. Hanya, cara dan kemasan yang berbeda. Beberapa waktu yang lalu banyak sarjana dan kyai pesantren dikirim ke Amerika Serkiat dan negara Barat lainnya, untuk belajar dengan para pendeta/pastur- tentunya mereka orientalis- tentang Islam versi mereka. Mereka pulang ke tanah air bukannya menjadi panutan, tapi menjadi agen-agenda propaganda kepentingan Barat.

Ini pula yang menjadi kegalauan cendikiawan Muslim kontemporer Syed Naquib al-Attas. Menurutnya, latar belakang demikian telah mendorong para pemimpin politik Islam dari Sultan Salim III (1789-1807 M), Sultan Mahmud II (1807-1839 M) hingga Pasya Muhammad Ali di Mesir (1803-1849 M) menyerukan adanya reformasi pendidikan, terutama dalam bidang militer, ilmu teknik, dan dikuti ilmu-ilmu cabang lain (The Educational Philosophy and Parctice of Syed Muhammad Naquib al-Attas, Wan Mohd Nor Wan Daud, 1998).

Mereka beranggapan dengan reformasi pendidikan di beberapa bidang ilmu itu umat Islam mampu menghadapi kekuatan Barat. Anjuran ini pun dilanjutkan oleh reformis Muslim Muhammad Abduh di Mesir dan Sayyid Ahmad Khan di India. Sayangnya, mereka tetap membangga-banggakan metodologi keilmuan Barat, sehingga usaha mereka tidak menyelesaikan masalah.

Melihat kondisi demikian, kata Al-Attas, bukan masalah itu yang pokok, tapi tentang konsep ilmu dan pendidikan. Pendidikan tidak hanya berfungsi sebagai sarana pencapaian tujuan-tujuan sosial dan ekonomi, tapi juga berperan sebagai pencapaian tujuan spritual manusia.

Oleh karena itu, untuk terlepas dari kerangka yang dikotomis tentang ilmu pengetahuan kita harus merujuk kepada konsep Tauhid. Atau dalam bahasa lain, perlu adanya hirarki dalam mengkaji sesuatau berdasarkan konsep Al-Qur’an dan Al-Hadis. Di sinilah, Al-Attas mengajukan pembagian ilmu yang fardlu ’ain dan fardlu kifayah.

Ilmu-ilmu yang termasuk fardlu a’in, misalnya, Ilmu Tauhid, Ilmu Tafsir dan Tafsir, Ilmu Hadis dan Hadis, Ushul Fiqh. Ilmu ini, menurut Al-Attas, harus dipelajari lebih oleh setiap Muslim sebelum ia belajar ilmu-ilmu yang lain. Dengan demikian, ketika seseorang melakukan studi ilmu yang lain, konsep dan out put-nya tidak salah. Framework-nya berdasarkan konsep Tauhid.

Sedangkan selain ilmu-ilmu lainnya termasuk kategori fardlu kifayah. Untuk mengkaji ilmu umat Islam tidak diwajibkan menguasai semuanya, karena ilmu ini hanyalah turunan dari ilmu-ilmu fardlu ’ain.

Konsep ini pula yang jauh sebelumnya ditawarkan oleh Abu Hamid Al-Ghazali. Dalam kumpulan kitabnya, Maj’mu’ah al-Rasail, Al-Ghazali menyatakan, bahwa segala sesuatu itu harus diawali dengan ilmu. Al-’Ilm qabl al-’Amal (Ilmu itu harus dipenuhi dahulu sebelum berbuat).

Ia juga menegaskan penting dan perlunya penguasaan ilmu-ilmu fardlu ’ain oleh setiap Muslim. Dengan cara demikian, maka seseorang yang belajar tentang alam semesta, seni, filsafat, bahasa, dan lainnya akan menemukan keagungan Allah Swt., tidak mungkin ia menjadi sekuler dan liberal, apalagi atheis.

Sekarang ini tak sedikit mahasiswa dan sarjana belajar tentang Islam, tapi ia dijadikan wisata dan perdebatan ilmu pengetahuan. Mereka bukannya yakin dengan Islam, tapi justru meragukan dan enggan mengamalkan ajaran-ajaran Islam. Demikian pula, banyak orang belajar ilmu-ilmu fardlu kifayah, tapi konsep dan cara penadangnya salah, sehingga ia tak menemukan kebenaran.

Lantaran mendikotomikan dua rumpun ilmu-ilmu Allah itu, kita terjebak dalam kerangka pikir dan pandangan dunia ala Barat. Tak heran jika banyak orang pintar, tapi sedikit orang jujur. Tak aneh pula banyak ilmuan, tapi konsep dan hasil ilmunya salah. Dalam sebuah kesempatan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia KH. A. Sahal Mahfud dihadapan para guru besar UIN dan pejabat, tokoh Indonesia, berujar” Yang kita butuhkan sekarang adalah orang jujur. Orang pinter banyak, tapi orang jujur susah dicari. ” Allahu a’lam bi al-shawab. (dina)