Eramuslim.com – Kebijakan utang Sri Mulyani dinilai telah membuat rugi negara. Bahkan ahli ekonomi dari Universitas Bung Karno, Gede Sandra mengurai kerugian negara di era Menteri Keuangan Sri Mulyani dari kelebihan bayar bunga mencapai Rp 601 triliun.
Angka sebesar itu hanya terkumpul dari tahun 2018 hingga 2021, tepat saat Sri Mulyani kembali ditunjuk Jokowi sebagai Menteri Keuangan.
Ekonom senior DR. Rizal Ramli yang sejak lama mengkritik kebijakan yang diambil Menteri Keuangan Sri Mulyani pun mengaku sudah mendapat dorongan dari para pengacara untuk membawa kasus ini ke meja hijau.
“Banyak kawan-kawan lawyer yang sarankan agar kerugian negara karena kebijakan utang SMI dibawa ke ranah hukum,” tuturnya kepada wartawan, Jumat (16/7).
Menurutnya, pelaporan itu bukan suatu yang mustahil. Apalagi sudah ada yurisprudensi dari negara lain.
Namun demikian, Menko Perekonomian era Presiden Gus Dur itu masih menunggu momen yang tepat. Setidaknya hingga seseorang yang disebutnya sebagai “King” selesai.
“Menkeu Korea 1998 masuk penjara kok. Sabar, sabar, tunggu aja sampai King itu selesai,” tegasnya tanpa mengurai siapa “King” yang dimaksud.
Rizal Ramli menilai laporan itu penting dilakukan lantaran rakyat kecil telah menjadi korban dari kebijakan yang diambil Sri Mulyani. Terlihat dari sejumlah pajak yang mulai dikenakan pada rakyat lapisan bawah.
“Tukang bakso mesti dipajakin, PPN harus dinaikkan, termasuk untuk pangan dan pendidikan, hanya untuk nombokin bunga utang kemahalan SMI. It’s a robbery!” ujarnya.
Gede Sandra sebelumnya mengurai ide untuk mengategorikan masalah kelebihan bayar bunga utang pemerintah sebagai kasus kerugian negara.
Dia mengurai, apa yang dilakukan pemerintah Indonesia dengan kebijakan bunga tinggi, terutama tim ekonomi di bawah Menteri Keuangan Sri Mulyani, telah menyebabkan kerugian keuangan negara.
Selama empat tahun terakhir, pemerintah Indonesia telah mengalami kerugian keuangan negara atau mengalami kehilangan potensi penghematan sebesar Rp 601 triliun.
Artinya bunga surat utang pemerintah Indonesia yang kemahalan membuat beban pembayaran bunga utang Indonesia meningkat setiap tahun.
“Keseimbangan primer, selisih antara pendapatan negara dan belanja negara tanpa memasukkan beban bunga utang, meningkat semenjak empat tahun terakhir,” urainya.