Untuk meningkatkan kesejahteraan wartawan, Dewan Pers membahas besaran gaji yang pas bagi mereka. Karena itu pula, pihaknya berencana akan mengumpulkan sejumlah asosiasi pers dan wartawan untuk membahas patokan standar gaji dan kompetensi wartawan, terkait dengan rencana revisi UU Pers Nomor 40 tahun 1999 dengan penekanan pada aturan permodalan minimal perusahan pers.
"Dalam waktu dekat kami akan mengumpulkan asosiasi pers untuk merumuskan besar kecilnya standar gaji wartawan, "papar Wakil Ketua Dewan Pers, Sabam Leo Batubara, di Jakarta, Selasa (6/3).
Menurutnya, standar asosiasi wartawan antara lain adalah memiliki cabang di 10 provinsi dan beranggotakan 500 wartawan yang memiliki karya jurnalistik yang terbit secara teratur dan tidak hanya sekadar memiliki nama atau bendera organisasi saja.
Dijelaskannya, sejumlah asosiasi pers yang dikumpulkan di antaranya Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) serta sejumlah pemilik koran besar dan kecil.
"Upaya itu untuk melahirkan standar gaji dari bawah (insan pers, red). Hasil dari pertemuan itu, akan menjadi aturan main, " sambung dia.
Leo mengungkapkan, pertemuan di tingkat bawah, yakni masyarakat pers dilakukan untuk mengantisipasi adanya monopoli para konglomerat. "Jangan sampai kemerdekaan pers dibunuh karena dikuasai oleh para konglomerat, seperti yang terjadi di televisi Jakarta saat ini, " katanya.
Sementara itu, dari sekitar 829 media cetak, hanya 30 persen yang sehat dan sisanya tidak sehat bisnis.
Dengan kondisi 70 persen dari 829 media cetak yang tidak sehat, Sabam, perlu dilakukan revisi UU Nomor 40 tahun 1999. Meski dampaknya, kemungkinan sebagian media cetak tidak akan dapat terbit kembali.
Leo juga berpendapat seharusnya pemerintah tidak membahas masalah permodalan minimal perusahaan pers, karena yang lebih berwenang dalam hal itu adalah masyarakat pers, sama halnya dalam merumuskan kode etik wartawan. (dina)