Komite Indonesia untuk Pemberantasan Pornografi dan Pornoaksi (KIP3) menyesalkan sikap Dewan Pers yang tidak tegas terhadap media massa yang masih menayangkankan program berbau pornografi dan pornoaksi.
"Fenomena pornografi dan pornografi bebas beredar di media massa atas alasan kebebasan pers untuk berekspresi," ujar Ketua Badan Pelaksana KIP3, Hj Juniwati T Masjchun Sofwan, dalam Diskusi Publik tentang Pemberdayaan Lembaga Pemantau Media di Jakarta, Senin (27/11).
Menurutnya, dalam Undang-Undang (UU) Pers dan Kode Etik Jurnalistik jelas disebutkan bahwa pers Indonesia dilarang memberitakan atau menyiarkan kecabulan, tetapi dalam kenyataannya hal yang dilarang itu justru dengan mudah dilanggar oleh media massa.
Ia menilai, dengan adanya UU Pers seperti itu Dewan Pers seolah "tidak berdaya" dalam menghadapi pelanggaran penyiaran pornografi oleh media massa tersebut.
Oleh karena itu, KIP3 mendesak DPR untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-undang Anti Pornografi Pornoaksi (RUU APP) untuk segera menjadi UU, karena keberadaannya sangat dinantikan masyarakat.
Dia menambahkan, KIP3 prihatin atas merebaknya media yang mengeksploitasi pornografi sebagai komoditas utama.
Sementara itu, Anggota Dewan Pers, Leo Batubara mengatakan, pada dasarnya fungsi dari Dewan Pers hanya untuk pencerahan, bukan untuk memberikan sanksi secara konstitusional.
Menurutnya, jika masyarakat ingin ada sanksi denda tentu harus melaporkan kepada aparat konstitusi yaitu Polisi, Hakim dan Jaksa.
Menurut dia, harus diperjelas apa sebenarnya fungsi dari Dewan Pers kepada masyarakat.
Beberapa fungsi Dewan Pers, katanya, antara lain melindungi kebebasan pers dari kekuasaan dan pemilik modal, pengawasan kode etik jurnalistik, mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat dan pemerintah.
Menanggapi masalah adanya kesan ketidaktegasan Dewan Pers terhadap pornoaksi dan pornografi di media, terangnya, hingga kini tidak ada peran aktif dari masyarakat untuk mengadukan secara langsung kepada Dewan Pers. (dina)