Yang ketiga, para “elit resmi” NU (pengurus struktural dan pimpinan ormas bawahan) ada baiknya melihat lebih dalam “ke dalam”. Sebab, jangan-jangan warga NU (nahdhiyyin) di seluruh pelosok Indonesia sudah banyak berubah. Boleh jadi akar rumput NU sudah “jauh di depan” dibanding para elitnya dalam mencerna dan menyimpulkan situasi bangsa dan negara yang ada sekarang ini.
Para elit NU perlu juga mengikuti suasana canda yang ada di masyarakat saat ini, khususnya kalangan muda. Seperti kita ketahui bersama, tiba-tiba saja sekarang populer terminologi “zaman now”. Yaitu, istilah yang dimaksudkan untuk memaklumatkan kepada publik bahwa kalangan muda sekarang ini merasa mereka memiliki “world view” (cara pandang) sendiri, yang sangat berbeda dengan kalangan tua.
UAS adalah reprsentasi “NU zaman now”. Ke-NU-an beliau tetap kental tetapi “world view”-nya tidak sama dengan elit NU. Kelihatannya, KH Said Agil Siroj dan para petinggi lainnya wajar juga mendalami aspek ini agar cara beliau menakhodai kapal NU yang sangat besar itu tidak berseberangan dengan aspirasi penumpangnya yang rupa-rupanya telah melakukan “revisi diam-diam” terhadap cara berpikir mereka.
Kalau cara berpikir dan cara bertidak elit NU mengabaikan aspek “zaman now”, hampir pasti akan terulang “fitnah-fitnah” lain terhadap NU sekiranya terjadi lagi kasus-kasus pembubaran pengajian, penolakan ala Bali, maupun deportasi ala Hong Kong.
Kita berkepentingan dan berharap agar NU tidak lagi menjadi tertuduh atau pihak yang terfitnah. Wallahu a’lam!
Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior)