Pemerintah Indonesia tidak bersedia, jika ada negara lain mendikte keputusan hukum dalam pembebasan Amir Majelis Mujahidin Ustad Abu Bakar Baasyir. Hal tersebut disampaikan Juru Bicara Depatemen Luar Negeri Desra Percaya dalam media briefing, di Kentor Departemen Luar Negeri, Jakarta, Jum’at (16/6).
"Kita tidak akan membiarkan didikte oleh negara lain, karena kita memiliki kedaulatan nasional dan hukum sendiri,"tegasnya menanggapi pernyataan Perdana Menteri Australia John Howard didepan parlemen yang tidak setuju dengan pembebasan Ustad Baasyir.
Menurutnya, upaya nasional dalam memerangi terorisme tidak dapat diukur dengan pembebasan Ustad Baasyir, sebab dalam pemberantasan terorisme, aparat hukum di Indonesia sudah mengadili dan memenjarakan sejumlah orang yang dianggap terlibat dalam tindak pidana terorisme.
"Jangan melihat satu orang saja, sejumlah orang sudah diadili, dihukum, dan dipenjarakan karena dianggap terlibat aksi teror," ujarnya.
Lebih lanjut Desra menegaskan, meskipun Ustad Baasyir termasuk dalam daftar Resolusi Dewan Keamanan PBB 1267, pemerintah tetap akan menggunakan mekanisme yang berlaku di Indonesia. Sebagaimana diketahui dalam Resolusi 1267 DK PBB telah mengeluarkan ribuan daftar nama, 10 di antaranya WNI yang dianggap mempunyai keterlibatan dengan jaringan terorisme. Konsekuensinya negara yang masuk daftar harus membekukan aset-aset orang tersebut, larangan terlibat dalam jual beli peralatan senjata serta tidak memberikan izin tinggal.
Ia menambahkan, setelah keputusan hukum menetapkan Baasyir selesai menjalani hukuman pada tanggal 14 Juni lalu, dia sudah menjadi WNI yang dapat bebas menjalankan hak-haknya.
"Ada konsekuensi tertentu yang harus dipatuhi oleh pemerintah kita, tetapi tidak kewajiban dalam resolusi memenjarakan orang yang temasuk dalam list," katanya.
Mengenai kemungkinan pembebasan Baasyir akan dibahas dalam pertemuan antara SBY dengan Howard pada 26 Juni mendatang, Desra menyatakan bukan hal yang mustahil itu akan disinggung oleh Australia.(novel)