Tuntutan ribuan kepala desa dan perangkat desa yang beberapa waktu lalu menemui Mendagri HM. Ma’ruf dandatang ke DPR RI untuk meminta revisi PP No.73 dan No.72/2005 dan UU No.32/2004 agar kepala desa diangkat menjadi PNS tak bisa dipenuhi. Demikian pula tuntutan agar mereka diperbolehkan menjadi anggota atau pengurus partai politik.
Dirjen Pemerintahan Desa dan Kelurahan Depdagri Persada Girsang menjelaskan, mereka tidak bisa menjadi PNS karena kepala desa dipilih langsung oleh rakyat. Soal mereka tidak bisa menjadi pengurus Parpol agar kepala desa itu bisa melayani seluruh warganya secara netral dan maksimal.
“Karena itu yang menjadi PNS hanya Sekretaris Desa (Sekdes). Ini penting karena yang berurusan dengan administrasi birokrasi desa,” ujar Persada Girsang pada wartawan di Gedung MPR/DPR RI Selasa (28/3) bersama pengamat politik Pemerintahan Lokal dari UGM Dr. Pratikno dan anggota Komisi II DPR RI FKB H. Saifullah Ma’shum.
Ia menambahkan, desa melalui PP 72, PP 73/2005 dan UU No.32/2004 itu pada realisasinya nanti akan mendapat dana sebesar 10 persen dari APBD dan gaji mereka sesuai UMR yaitu sekitar Rp 600 ribu. Masa jabatan mereka maksimal 2 kali selama 10 tahun berturut-turut. Sedangkan syarat pencalonanya antara lain belum pernah menjabat kepala desa baik secara berturut-turut atau tidak.
Saifullah Ma’shum politisi PKB asal Malang, Jatim ini menilai wajar tuntutan para kepala desa tersebut, meski ada yang tidak rasional seperti menjadi pengurus Parpol. Tuntutan itu mencerminkan jika mereka sangat berkeinginan menjadi politisi karena dalam pandangan mereka selama ini menjadi politisi itu uangnya banyak.
Apalagi di PP 73/2005 itu, lanjut Saifullah Ma’shum, sama sekali tidak disinggung hak-hak dan wewenang kepala desa. “Jadi, memang harus ada usul inisiatif dari pemerintah untuk membuat UU tentang pemerintahan desa itu sendiri.”
Dr. Pratikno juga sepakat mengenai hanya Sekdes yang jadi PNS karena terkait langsung dengan birokrasi administrasi desa. Sebab, kalau kepala desa jadi PNS apalagi menjadi pengurus Parpol itu akan mengganggu birokrasi dan menghambat demokratisasi di desa, sehingga upaya mewujudkan pemerintahan desa yang profesional bisa gagal.
Ia mengakui jika tuntutan itu sebagai bentuk frustasi dan hiruk pikuk desentralisasi yang melahirkan kemewahan (DPRD/DPR/DPD RI), sedangkan desa dan kepala desa tetap miskin. Karena itu perlu ada UU pemerintahan desa. Hanya saja dalam UU itu harus dihindari adanya penyeragaman secara nasional karena kondisi desa di Jawa dan luar Jawa berbeda.
“Menjadi politisi memang lebih menggiurkan karena kemewahan tersebut daripada kepala desa. Selain itu DPP Parpol bisa langsung turun ke desa dan lebih mudah menembus ke bawah dibanding Depdagri. Menjadi politisi juga bisa dekat dengan penguasa partai dan tidak usah dipilih langsung oleh rakyat,” kata Pratikno. (dina)