Depag Tidak Bisa Batalkan Paspor Coklat untuk Ibadah Haji

Departemen Agama tidak bisa membatalkan pemberlakuan paspor coklat untuk perjalanan ibadah haji, selama UU No.17/1999 dan UU No.9/1992 masih berlaku, di samping itu paspor haji memberikan kemudahan bagi jamaah dari segi biaya dan birokrasinya. Demikian diungkapkan Menteri Agama M. Maftuh Basyuni dalam coffe morning, di Operation Room, Departemen Agama, Jakarta, Kamis(6/3).

"Selama masih berlaku UU No 17 tahun 1999 tentang penyelenggaraan haji dan UU No.9 tahun 1992 tentang keimigrasian maka paspor coklat masih tetap berlaku, tidak mungkin itu akan dicabut. Sesuai dengan UU 17/1999 dan UU NO 9/1992 WNI yang ingin menunaikan haji menggunakan paspor haji, ini paspor haji atau paspor coklat sudah ada sejak zaman Belanda dulu dengan namanya pas haji, tidak pernah mengeluarkan masalah, " ujarnya.

Berdasarkan pasal 17 ayat 1 UU No.17/1999, setiap warga negara yang akan menunaikan ibadah haji menggunakan paspor haji yang dikeluarkan oleh Menteri. Sementara itu, dalam pasal 29 ayat 1 UU No.9/1992 menyebutkan, surat perjalanan Republik Indonesia terdiri atas: Paspor Biasa (warna hijau), Paspor Diplomatik (warna hitam), Paspor Dinas (warna biru), Paspor Haji (warna coklat), Paspor Untuk Orang Asing, Surat Perjalanan Laksana Paspor untuk WNI, Surat Perjalanan Laksana Paspor untuk Orang Asing, dan Surat Perjalanan Laksana Paspor Dinas.

Sesuai dengan ketentuan itu, lanjut Menag, Departemen Agama tidak akan bertanggung jawab atas segala sesuatu yang terjadi bagi WNI yang menggunakan paspor diluar aturan yang berlaku, karena pihaknya hanya akan bertanggung jawab terhadap pemegang paspor coklat (paspor haji).

"Kemudian lalu siapa yang bertanggung jawab, ditiap-tiap kedutaan besar ada bagian yang dinamakan Konjen yang bertanggung jawab atas suatu peristiwa yang terjadi pada mereka. kami hanya mengurus paspor coklat, " tandasnya.

Ia menegaskan, penggunaan paspor khusus haji dimaksudkan untuk menertibkan jumlah kuota yang sudah disepakati oleh negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI).

"Kuota ini tidak ditentukan oleh pemerintah Indonesia dan pemerintah Saudi Arabia, tetapi ditetapkan oleh kesepakatan negara-negara yang tergabung dalam OKI. Karena kita menyadari bahwa tempat ibadah di Madinah maupun di Makkah, tempat ibadah itu amat sangat terbatas, dan tidak mungkin lagi diperlebar, karena itu perlu ada jumlah pengaturan, " jelas Menag.

Oleh karena itu, lanjut Maftuh, meskipun daftar tunggu jamaah haji sudah mencapai 400 ribu, pemerintah tetap harus menaati kesepakatan yang telah dibuat, untuk tidak melebihi kuota yang telah ditentukan untuk Indonesia sebanyak 207 ribu jamaah haji, karena bisa dibayangkan kalau semua dibebaskan tidak mungkin dapat beribadah dengan baik.

Terkait dengan itu, sejak beberapa tahun lalu Departemen Agama telah mengeluarkan imbauan agar umat Islam yang sudahberibadah haji sekali, memiliki kesadaran untuk memberikan kesempatan kepada muslim lainnya yang belum berhaji. (novel)