Delapan anggota dari Komisi Bidang ekonomi mengajukan uji materiil (judicial review) terhadap pasal UU No. 22 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas), karena dianggap merugikan hak kontitusionalnya untuk melakukan pengawas terhadap kontrak kerjasama internasional bidang Migas. Hal tersebut disampaikan oleh Kuasa Pemohon Januardi S. Hariwibowo dalam sidang pertama, di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu(1/8.
Ia menjelaskan, dalam pasal 11 ayat 2 UU Migas setiap kontrak kerja diberitahukan kepada DPR apabila sudah ditandatangani, hal itu bertentangan dengan UUD 1945 pasal 11 ayat 2 yang mengharuskan pemerintah adanya persetujuan DPR dalam membuat perjanjian internasional yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat. Selain itu juga kuasa pemohon menilai, pasal 11 ayat 2 UU Migas bertentangan dengan UUD 1945 pasal 20A ayat 1 terkait dengan fungsi pengawasan, serta pasal 33 ayat 3 dan 4.
"Perjanjian atau atau Kontrak Kerja Sama (KKS) antara BP Migas dengan pihak kontraktor hanya diberitahukan setelah perjanjian tersebut ditandangani, DPR secara pasif hanya menerima berupa salinan perjanjian itu, "jelasnya.
Kuasa pemohon menilai, dengan adanya pasal ini DPR tidak dapat mengawasi KKS yang dilakukan oleh Badan Pelaksana (BP) Migas, dan seberapa besar pendapatan negara yang diperoleh, dan hasilnya digunakan untuk kemakmuran rakyat.
"Apakah pengelolaan sudah sesuai dengan prinsip demokrasi ekonomi atau hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu, kalau ini dibiarkan BP Migas akan menjadi superbody tidak ada yang bisa mengkontrol, "ujarnya.
Menanggapi pengajuan uji materiil itu, Hakim Konstitusi HM. Laica Marzuki menyarankan, agar pmohon memperbaiki gugatannya, apakah akan mewakili lembaga negara atau perorangan.
"Kalau persengketaan antar lembaga yang mengajukan permohonan harus DPR secara langsung, tidak boleh diwakili, "jelasnya.
Sementara itu, Hakim Konstitusi lainnya Achmad Roestandi menyarankan agar pemohon untuk mendiskusikan lagi dengan anggota DPR, sebab seperti diketahui fungsi pengawasan DPR dapat dilakukan dengan berbagai cara salah satu melalu rapat kerja.
Delapan orang anggota DPR yang mengajukan permohonan adalah Zainal Arifin, Sonny Keraf, Alvien Lie, Ismayatun, Hendarso Hadiparmono, Bambang Wuryanto, Dradjad Wibowo, dan Tjatur Sapto Edy. Namun tidak ada satupun dari kedelapan anggota yang hadir dalam persidangan.(novel)