Akhir yang tidak manis. Di mana kubu SBY mendapatkan kritikan dan citra yang negative dari publik. Gara-garanya saking berlebihan ingin menang. Keinginan menang ini, dan yakin menang, menyebabkan tim sukses SBY, agak arogan dan takabur. Semuanya itu menyebabkan citra SBY yang sudah dibangun dengan penuh sopan-santun, dan tertata rapi, akibatnya berantakan.
Mulai dari pernyataan Ruhut Sitompul, yang menjadi Tim Sukses SBY-Boediono, yang tidak dapat menahan emosinya, ketika berhadapan dengan Fuad Bawazir dari Tim Sukses JK-Win, karena tidak tahan pasangan SBY-Boediono, disebut-sebut neolib, keluar pernyataan Ruhut Sitompul, yang dulunya aktive di Golkar, dan loncat ke Demokrat itu, tiba-tiba mengatakan bahwa Arab tidak memberikan bantuan apa-apa kepada Indonesia. Tentu, yang paling banyak memberikan bantuan, menurut Tim Sukses SBY-Boediono kepada Indonesia adalah negara-negara Barat alias AS.
Pernyataan Ruhut Sitompul ini, membuat berang berbagai kalangan, yang merasa pernyataan Tim Sukses SBY itu, berbau rasialis, dan melecehkan komunitas Arab. Kontan pernyataan Ruhut itu menuai kecaman ormas-ormas Islam, termasuk organisasi al-Khairat yang pusatnya di Sulawesi, yang menyesalkan pernyataan Ruhut itu. Padahal, pertama-tama yang memberikan dukungan kemerdekaan Indonesia sesudah proklamasi adalah negara-negara Arab, yang dengan adanya pengakuan negara-negara Arab itu, eksistensi Indonesia diakui oleh PBB, dan dapat mengikuti dalam siding-sidang di lembaga itu.
Apakah kurang pengetahuan semata, atau memang ada unsur kesengajaan dari pernyataan Ruhut itu, yang meniadakan peran negara-negara Arab, yang nota bene, jauh sebelum Indonesia mempunyai hubungan diplomatik dengan negara-negara Barat, bangsa Indonesia sudah mempunyai hubungan melalui agama, budaya, ekonomi dan politik. Justru hubungan antara Indonesia Barat itu, tak lain, berbentuk ‘permpokkan’ asset negara dan sumber daya alam. Berapa banyak asset dan sumber daya alam Indonesia yang dikeruk dan dibawa oleh negara-negara Barat, melalui perusahaan multinasional (MNC), yang beroperasi di Indonesia sejak penjajahan Belanda sampai sekarang ini? Ini dilupakan oleh Ruhut yang hanya melihat Barat pemberian ‘utang’ kepada Indonesia, dan dipandang sebagai hal yang mulia oleh Ruhut.
Belum habis soal ‘Arab’ yang diangkat oleh Ruhut Sitompul, muncul lagi, soal ‘sepotong kain’, yang diangkat oleh Presiden PKS, Ir.Tifatul Sembiring, di Majalah Tempo, yang dari pernyataan Presiden PKS itu , menimbulkan polemik. Persoalannya, adalah istri JK-Win, yang keduanya menggunakan jilbab, dan sementara itu, istri SBY-Boediono, tidak menggunakan jilbab. Pernyataan Tifatul yang menganggap ‘enteng’ soal jilbab ini, tak pelak pula meninbulkan reaksi dari berbagai kalangan ormas Islam. Sementara itu, kalangan PKS, menilai penggunaan jilbab yang dilakukan istri JK-Win, yaitu Ny.Mufidah dan Ny.Uga itu, lebih sifatnya pribadi. Tapi, dukungan kepada SBY-Boediono itu, jauh lebih penting, karena dinilai oleh para pemimpin PKS itu, mempunyai kemaslahatan yang lebih luas, meskipun istri kedua pasangan itu, tidak menggunakan jilbab.
Peristiwa lainnya, yang tak kalah seru, muncul isu yang dilansir oleh Monitor Indonesia, yang mengutip pernyataan Habib Husien al-Habsyi, yang menyatakan isteri Boediono, Ny.Herawati beragama Katholik. Tentu, isu ini menjadi sontak dan menimbulkan kegegeran yang luar biasa. Peristiwa ini memuncak, ketika Tim Sukses SBY, melayangkan Somasi terhadap JK, yang diangggap membiarkan kasus ini berkembang. Di mana ketika berlangsung dialog dengan tokoh-tokoh Islam di Asrama Haji di Medan, dalam rangka kampanye, beredar foto kopi dari berita yang dimuat oleh Monitor Indonesia.
Beredarnya fotokopi yang menyatakan istri Boediono beragama Katholik itu, menjadi bahan perdebatan di permukaan yang dilakukan oleh Tim Sukses SBY-Boediono, yaitu Rizal Mallarangeng. Debat panas di sebuah stasiun televisi antara Tim Sukses SBY-Boediono, Rizal Mallarangeng dengan Tim Sukses JK-Win,yang diwakili Indra J.PIliang, berlangsung sangat panas. Keduanya saling menggugat tentang masalah istrinya Boediono yang diisukan beragama Katholik itu.
Puncaknya, tadi malam ketika berlangsung debat putaran terakhir, antara para capres, di mana JK langsung mengarahkan kritikannya kepada SBY, berkaitan dengan adanya iklan yang digencarkan oleh LSI (Lingkar Survei Indonesia), yang mengkapanyekan pemilu satu putaran. “Iklan pemilu satu putaran mendudukkan demokrasi dalam pandangan uang semata”, ujar JK. “Saya menyesalkan demokrasi yang dinilai dengan uang”, tambah JK. Pernyataan JK ini membuat SBY agak terkejut. Sehingga, mengganggu konsentrasi ketika berlangsung acara debat capres itu.
Sekarang ini ada yang disebut sebagai ‘Gestapu’ (Gerakan Satu Putaran), yang sejak awal digencarkan di masyarakat. Dan, sebagai pemulanya yang meggalakkan ditengah-tengah masyarakat adalah LSI, yang dipimpin Denny JA, melalui iklan-iklan di berbagai media. Opini masyarat digiring kearah pemilu satu putaran yang dimenangkan oleh pasangan SBY-Boeidono. Gerakan Gestapu ini juga diikuti partai-partai politik pendukungan pasangan SBY-JK.
Ini menyebabkan suasana pesta demokrasi menjadi tidak sehat. Karena sudah ada ‘teror’ mental, yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang berafiliasi dengan Tim Sukses SBY-Boediono. Seperti LSI ini kegiatan dibiayai oleh Fox Indonesia, yang dipimpin Zulkarnaen Mallarangeng, yang merupakan lembaga konsultan SBY. Melaui LS ini, diangkat bahwa hasil survei LSI itu, pasangan SBY-Boediono mendapatkan dukungan suara 70 persen. Inilah yang digunakan legitimasi kampanye pemilu satu putaran.
Masih dalam suasana yang berkecamuk itu, ketika berlangsung kampanye Boediono di Makassar, di mana hadhir pula Andi Mallarangeng, yang dalam pidatonya menyatakan, bahwa orang Makassar belum lama lanyak memimpn bangsa ini, alias menjadi presiden. Sekarang ini yang layak adalah pasangan SBY-Boediono. Memang, walaupun orang-orang disekeliling SBY-Boediono ini, berpendidikan AS, tapi mereka masih menggunakan isu primordial, seperti kesukuan. Pernyataan Andi ini bukan hanya menimbulkan keceman, tapi aksi demo besar-besaran yang belangsung di Makassar, yang menolak pernyataan Andi Mallarangeng.
Seakan-akan SBY-Boediono, yang keduanya orang Jawa itu, merupakan pasangan dari suku atau ras yang ‘istimewa’. Sedangkan, ras-rasa lainnya itu, tak berhak dan layak memimpin bangsa ini, karena mereka bukan orang Jawa. Pemikiran yang rasialis ini, justru dikembangkan mereka yang berpendidikan dari AS, dan sangat tidak layak. Tak aneh, bila akibat pernyataan Andi Mallarangeng ini, menimbulkan protes, termasuk dari Forum Rektor, yang menolak pernyataan Andi Mallarangeng.
Jangan sampai ada pikiran seperti yang orang Yahudi, yang menganggap diri mereka sebagai ras yang unggul, atau ras yang paling mulia dibandingkan dengan ras lainnya. Sehingga, karena sikap itu, menganggap ras-ras lainnya, tidak penting, dan bahkan tidak layak dan berhak memimpin bangsa ini. Ini sungguh tidak layak dikembangkan. Siapapun yang memiliki syarat-syarat memimpin bangsa ini, mereka berhak tampil. (m)
foto : republika.co.id