Dahlan Sebut BUMN Infrastruktur Tunggu Waktu, Bangkrut?

“Tapi ada BUMN yang ambisius sekali: memiliki tol itu sekaligus mengerjakannya. Uang bisa dicari, kata mereka,” tutur Dahlan.

Menurut Dahlan sekuat-kuatnya BUMN Infrastruktur di Indonesia tetap harus mengandalkan sumber dana dari pihak ketiga. Baik itu dari perbankan, obligasi, atau right issue di pasar modal.

Masih tetap ada jalan keluar di BUMN infrastruktur itu. Misalnya menjual jalan tol yang dimiliki, yang pasti merubah kerugian menjadi laba.

“Tapi siapa yang mau beli jalan tol di masa yang begini sulit? Tentu ada saja orang yang kelebihan uang. Masalahnya tinggal ini: mau dijual dengan harga berapa?,” tanya Dahlan.

“Beberapa kali saya berharap lewat Disway bulan-bulan lalu: semoga SWF segera jalan. Dan dana dari Amerika, Uni Emirat Arab, Jepang dan Kanada itu segera masuk ke SWF. Ada yang sudah kehausan sampai kerongkongan,” tutur Dahlan.

Berikut tulisan lengkap Dahlan dalam blog resminya.

Haus Kerongkongan

Ini bisa dibilang mengejutkan, pun bisa dibilang tidak. Sudah agak lama para pengamat ekonomi memprediksi: BUMN kelompok infrastruktur tinggal tunggu waktu. Sulit atau sulit sekali.

Tapi kondisi sebenarnya memang masih harus menunggu terbitnya laporan keuangan kinerja tahun 2020. Toh mereka pasti mengumumkannya kepada publik. Mereka perusahaan publik -ada keharusan untuk itu.

Yang ditunggu itu tiba. Selasa lalu. Hari itu terbit laporan keuangan mereka. Semuanya menjadi jelas. Waskita Karya misalnya, rugi tidak kepalang tanggung: sampai Rp 7 triliun.

Wijaya Karya tidak sampai rugi. Tapi labanya terjun bebas: dari Rp 2,2 triliun menjadi kurang dari Rp 200 miliar. PT PP turun dari Rp 800 miliar tinggal Rp 128 miliar. Pun BUMN infrastruktur yang lain.

Pekerjaan infrastruktur memang gegap gempita tahun-tahun terakhir. Tapi bisnis tetaplah bisnis: punya perilakunya sendiri. Dan perilaku itu bersumber dari satu napas: uang.

Pekerjaan jalan tol misalnya, memang luar biasa banyak. Mereka bisa memiliki sendiri tol itu atau hanya mengerjakan milik orang lain.

Sebagian BUMN infrastruktur ngeri dengan besarnya modal yang harus disiapkan. Mereka memilih jadi kontraktor saja. Tapi ada BUMN yang ambisius sekali: memiliki tol itu sekaligus mengerjakannya. Uang bisa dicari, kata mereka.

Tapi sekuat-kuat pengusaha infrastruktur, kelas Indonesia, tetap saja harus mengandalkan sumber dana dari pihak ketiga: bank dan obligasi. Atau right isu di pasar modal.

Tapi sekuat-kuat bank ia harus tunduk pada peraturan di bidang perbankan: ada batas dalam jumlah pemberian kredit pada satu grup perusahaan -one obligor.

Dana bank adalah napas nomor satu mereka. Maka ketika perusahaan sudah tidak bisa lagi pinjam dana bank -karena sudah mencapai batas atas– bencana tahap 1 pun datang.