Pembatasan jumlah partai politik (parpol) peserta Pemilu 2009 dengan mekanisme electoral treshold (ET) atau ambang batas pemilihan cukup tiga (3%) saja sebagaimana diatur dalam UU. Demikian Koordinator Center of Electroal Reform (Cetro) Diman K Simanjuntak, di Jakarta, Selasa (26/9).
Untuk itu, jelas dia, pemberlakuannya harus dilakukan secara konsisten dengan parliamentary treshold. Artinya, parpol yang boleh menempatkan wakilnya di parlemen hanyalah mereka yang memperoleh ET sebanyak tiga persen ke atas, kendati akibatnya akan ada suara pemilih yang hilang karena parpol pilihannya tidak mencapai target minimal ET.
Sejak 1999, Indonesia sebenarnya sudah menerapkan ET, yakni pada Pemilu 1999 sebanyak dua persen dan Pemilu 2004 (tiga persen). Namun, penerapannya masih belum jelas atau banci, karena sejumlah parpol yang tidak mencapai ET tetap dapat mendudukkan wakilnya di DPR. "Di negara-negara demokratis, seperti Jerman, Rusia, dan Ukraina, ET adalah ambang batas untuk bisa masuk ke parlemen."
Dijelaskannya, bila hal ini diterapkan di Indonesia, maka diperkirakan hanya ada enam parpol yang berhak mendudukkan wakilnya di parlemen sebagai hasil Pemilu 1999 dan tujuh parpol pada Pemilu 2004.
Tapi, kritiknya, yang terjadi di Indonesia adalah parpol yang tidak mencapai ET berganti nama untuk kembali dapat ikut dalam pemilu berikutnya dan tetap dapat mendudukkan wakilnya di DPR.
Ia mengusulkan, untuk menghindari hilangnya suara rakyat, suara yang diperoleh parpol yang gagal mencapai electoral treshold diberikan kepada parpol-parpol lain yang memenuhi ET dengan mempertimbangkan kesamaan ideologi partai, program kerja, maupun aliansi antar parpol yang telah dibangun sebelum Pemilu.
Untuk aliansi, tegas Diman,"idealnya aliansi antar parpol itu sudah harus dibangun sebelum Pemilu. Sebagai contoh, PBR membangun aliansi dengan PPP. Ini akan lebih sehat. Ini tidak lagi politik dagang sapi karena dilakukan sebelum Pemilu yang menjadi arena kompetisi parpol-parpol." (dina)