Malamnya, si Mayor TNI itu kemudian menemuinya lagi di pos. Ruslan lantas dirayu dengan sekantong uang. Uang itu dikeluarkan usai perdebatan alot tak menemui hasil.
“Dia panggil saya ke pojokan. Intinya mereka minta lepaskan mereka, ‘kayak enggak kenal aja’. Tentunya ada embel-embel uang satu plastik dikeluarkan.” kata dia.
“Bang mohon maaf (ke mayor), saya butuh uang iya, tapi saya enggak terima karena ini menyangkut negara. Saya enggak mau jadi pengkhianat bangsa. Abang mau jualan atau cari makan di sana oke, dan kalau abang kasih uang tapi tak ada kaitannya dengan mereka saya terima. Tapi kalau karena mereka enggak mau,” tutur Ruslan.
Besoknya, tim dan Mayor TNI itu kembali lagi. Dia datang lengkap dengan data-data baru imigrasi. Ruslan menduga, dia sudah berkontak dengan pihak imigrasi.
Menurut Ruslan, tiba-tiba pihak imigrasi lalu menelepon dirinya, bilang kalau dokumen kelima TKA China itu ada dan dalam masa perpanjangan.
“Mau bagaimana lagi, saya enggak punya kekuatan hukum. Padahal mereka tunjukkan fotokopi dokumen mereka cuma kunjungan wisata kok bisa kerja. Akhirnya saya lepas. Itu waktu heboh sepekan sebelum saya hilangkan nyawa preman,” katanya.
Ruslan pun menyebut bahwa tiap personel TNI yang bertugas di pos sana, pasti selalu bersilaturahmi dengan petugas pos TKA China. Tiap bulan, mereka bahkan dikatakan dapat bantuan Rp 2 juta per bulan.
“Saya adalah satu-satunya orang petugas yang bertugas di sana tapi tak pernah silaturahmi ke sana. Saya enggak minta, tapi tetap dikasih bantuan. Uangnya saya ambil, toh saya enggak minta, yang penting saya tetap tak mau ikuti arahan mereka,” ungkap Ruslan Buton. (suara)