Ketiga, yakni peran media yang harus konsen terus mengawal kasus Ferdy Sambo.
Terlebih, kata Muradi, Menkopolhukam Mahfud MD sudah lebih dulu ber-statement dan mengingatkan agar jangan sampai ada hakim dan jaksa main-main mengurus kasus Ferdy Sambo ini. Kalau main-main akan diproses juga.
“Artinya, langkah ini penting dilakukan, meskipun sudah P21. Mabes Polri punya kewajiban orang-orang yang masih aktif, berhenti untuk men-support FS. Karena ini yang dipertaruhkan nama kelembagaan,” paparnya.
Jika Ferdy Sambo tetap mendapat support dari orang terdekatnya, maka ia akan terus berupaya untuk melakukan pengurangan vonis hukuman.
“Dia akan bermanuver terus, berupaya untuk mendapat pengurangan hukuman. Misalnya dari hukuman mati, tapi berkurang jadi 10 tahun. (Setelah) 3-4 tahun menjalani kan sudah bisa ikut program asimilasi yang wajib lapor di lapas. Kan membahayakan betul, efek jeranya nggak dapat,” tekannya.
Muradi menambahkan, jika lobi-lobi terhadap jaksa dan hakim berhasil dilakukan dan vonis yang diberikan berbeda jauh dengan tuntutan publik, maka akan menurunkan kepercayaan terhadap institusi Polri.
“Karena publik akan menilai seberapa besar hukuman buat FS. Kalau makin rendah vonis hukumannya publik akan turun kepercayaannya. Kalau sesuai tuntutan publik akan meyakini bahwa internal Polri tidak main-main,” tegasnya.
Di samping itu, menurutnya Polri dan para purnawirawan harus fokus pada pembenahan institusi Polri sendiri. Saat ini, kata Muradi, tak bisa dipungkiri kepercayaan masyarakat terhadap Polri menurun akibat masalah Ferdy Sambo.
“Polisi dan internal Mabes Polri harus fokus membenahi organisasi karena ini sudah mulai merusak. Semua orang melihat polisi bahasanya Sambo, ini tidak sehat. Jangan sampai publik merasa internal di Polri tidak serius. Ini untuk psikologis dari anggota Polri (yyang sebanyak) 470 ribu orang,” pungkasnya. (Suara)