“PP Nomor 6 tahun 2018 tentang Holding Migas terlalu terburu-buru karena RUPS Luar Biasa PGN yang lalu masih menyisakan masalah. Sebanyak 29 persen pemegang saham belum menyetujui holding tersebut,” katanya, Senin (12/3/2018).
Selain itu, terdapat juga permasalahan hukum karena pembentukan holding dilakukan pemerintah tanpa melibatkan DPR sebagai lembaga pengawas aset kekayaan negara.
Belum lagi pembentukan holding migas ini dilakukan saat masih bergulirnya proses gugatan UU BUMN. Jika gugatan ini dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), diperkirakan akan berimbas kepada turunannya termasuk PP pembentukan Holding.
“Dengan demikian, kebijakan holding tidak memberikan kepastian hukum,” ujar Inas.
Jajang mengingatkan pemerintah bahwa pembentukan holding yang mengubah status PGN sebagai perusahaan publik menjadi perseroan terbatas (PT) justru akan menjadi ladang subur bagi mafia migas.
Dari sisi pengelolaan keuangan, dengan dijadikannya PGN sebagai anak usaha Pertamina maka DPR, BPK, atau bahkan KPK tidak lagi leluasa mengawasi PGN.
“Perusahaan ini akan sama halnya dengan anak-anak usaha BUMN lainnya seperti Pertagas yang tertutup, banyak masalah, dan ladang subur bagi mafia,” tegas Jajang. (Tsc/ram)