“Bahkan Pertamina sendiri yang akan menjadi induk dari holding BUMN Migas, sampai Desember 2017 lalu memiliki utang sebesar Rp 153,7 triliun. Kalau dilihat dari neraca keuangan, bisa dinilai PGN cukup stabil dan sehat sedangkan Pertamina dalam kondisi yang kritis,” ujar Jajang dikutip dari hasil riset yang dibuatnya, Selasa (13/3/2018).
Tanpa tedeng aling-aling CBA menyimpulkan upaya Kementerian BUMN untuk melakukan merger PGN dengan Pertagas, tidak lain dari upaya “merampok” PGN.
“Ambisi Menteri BUMN Rini Soemarno yang begitu menggebu-gebu untuk menggabungkan kedua perusahaan, terselip udang di balik batu. Dengan dilakukannya penggabungan atau merger dua perusahaan gas juga bisa menimbulkan monopoli usaha karena tidak ada lagi persaingan usaha dan pengguna dalam hal ini masyarakat tidak ada pilihan harga gas yang berbeda lagi,” kata Jajang.
Menguntungkan Mafia Migas
Oleh karena itu, CBA memastikan kebijakan merger PGN dengan Pertagas hanya menguntungkan kelompok tertentu dan bisa menyengsarakan rakyat sehingga harus ditolak oleh masyarakat.
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi VI DPR Inas N Zubir mengatakan kebijakan holding BUMN migas yang dijalankan Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2018 tentang Penyertaan Modal Negara (PMN) Republik Indonesia ke Dalam Modal Saham Perusahaan (Perseroan) terlalu terburu-buru hingga mengabaikan berbagai aspek.
Inas menyebut sebanyak 29 persen pemegang saham PGN yang merupakan perusahaan publik masih menolak pembentukan holding tersebut.