Sabtu (17/1), pukul 14.00 kami bersiap-siap untuk menuju perbatasan, semua pakaian kami bawa. Segenap peralatan medis untuk operasi berupa besi-besi yang beratnya membuat punggung pegal selama satu minggu ini kami putuskan ditinggal, mengingat kami akan melewati check point Israel. Perutku masih terasa begah karena belum kebelakang sejak kemarin. Entah makanan apa yang kutelan sehingga membuat perutku begini. Seingatku aku makan masakan Indonesia kemarin hari.
“Ah dasar supir Mesir,” keluhku. Kami harus menunggunya mandi, makan dan merokok dulu sebelum akhirnya mobil berangkat ke perbatasan. Orang Mesir itu rata-rata ramah, apalagi yang masih tinggal di desa. Mereka pengertian, murah senyum dan sapa. Namun satu kebiasaan yang sepertinya tidak akan cocok dengan bangsa kita, ya itu lambreto. Tidak ada pembeli yang menjadi raja, jangan harap pembeli mendapat servis di sini.
Pukul 16.00 kami tiba di perbatasan. Bersenjatakan surat dari KBRI dan surat dari Kemenlu Mesir, hari-hari penantian yang panjang selama di Al Arish bolak balik ke Kairo berakhir sudah. Kami langsung dipanggil masuk melewati gerbang pertama perbatasan. Di balik jeruji para wartawan RI menyorotkan moncong kameranya ke arah wajah kami. Selama kami berjalan menuju imigrasi terus dibuntuti, sampai akhirnya kami melalui scanner imigrasi seperti mau masuk airport dan BOOOOOOOOOM!!!!
Ledakan keras menyebabkan kaca-kaca di setinggi rumah tingkat dua berderak membusur ke dalam akibat tekanan udara yang begitu keras. Sejenak itu pula hampir semua orang di sekitarku bagaikan terhipnotis, terkejut dan terpaku melihat kaca seluas layar bioskop Jakarta Teater itu melengkung. Aku yakin, jantungku berhenti berdenyut sejenak saat itu. Dan pasti jantung orang-orang di sekitarku pun demikian.
Dua detik berlalu dan orang-orang kembali bergerak seperti animasi yang ter’pause’ sesaat. Berikutnya terdengar tawa para polisi yang menjaga scanner imigrasi sembari menyapa, "Welcome, It’s a hello from the Israeli welcome!!"
Setelah menunggu cukup lama di Imigrasi, akhirnya pukul 17.00 kami disilahkan naik bus yang disediakan oleh pihak Mesir. Ketika kami di suruh naik, rasa was-was pun menghantui. “Kenapa cuma kami yang ada di dalam bus? Katanya kita akan bersama orang Perancis?” tanyaku dalam hati.
Berikutnya kami harus membayar 91 pound Mesir atau sekitar Rp 180.000,- per orang untuk naik bus tersebut. Tiada daya dan kekuatan kecuali milik Allah, kami naik juga ke bus. Hanya kami berempat- orang Indonesia.
Kemudian bus mulai bergerak meninggalkan imigrasi. Dan yang membuat kami kaget, ternyata bus hanya bergerak kurang dari dua menit, hanya sejauh kira-kira panjang lapangan bola internasional lalu bus pun berhenti. Eh kami sudah di Palestina!! Gaza!!! 91 Pound !!! Dua menit di bus!!!!
Kira-kira pukul 17.15 kami turun dari bus. Di sinilah kami bertemu banyak orang yang hendak pergi ke Gaza. Kami disambut oleh banyak orang dan Red Crescent Palestina sebagai perwakilan otoritas Palestina. Dan tak lupa raungan UHV serta dentuman BOM menyambut kami di Palestina. Kali ini dentuman terasa jauh namun tetap mambuat hati tercekat.
Setelah berbincang-bincang sebentar, gelap menghampiri, dan kamipun menunaikan shalat Maghrib berjamaah dengan orang sekitar. Aku tak kenal, tapi setiap orang punya profil tubuh dan wajah berbeda. Kurasa mereka dari negeri yang berbeda-beda. Kami bertayamum dan shalat di bawah rindangnya pohon-pohon, beralaskan tanah dan daun kering. Aku teringat berapa buku-buku yang kubaca tentang shalat pada jaman Rosul dan para sahabat.
Tak terasa air mataku menetes. “Ya Allah… Aku rukuk bersama orang-orang yang rukuk dan sujud bersama orang-orang yang sujud, di tanah yang penuh dengan perjuangan, tanah Palestina.”
Aku melirik jam tanganku, waktu sudah menunjukkan pukul 18.00. Kami meneruskan perjalanan. Kali ini kami pergi menggunakan ambulan sebesar minibus, berduyun duyun dengan ambulan yang lain. Di dalam ambulan kami ber 10 orang. Kami dari Indonesia berempat, dua orang dokter Mesir dan 4 orang dokter Turki. Ambulan bergerak menuju Syifa hospital yang berjarak sekitar 40 km dari perbatasan.
Selama perjalanan aku benar-benar resah, demikian juga Pak Mursalim dan Bang Jose. Hanya Bang Sarbini yang tampak tenang.
Aku tenangkan pikiranku dengan berdzikir dalam hati. Setelah 15 menit berlalu aku mulai tenang. Bang Sarbini telah asyik berbincang-bincang dengan dokter Turki. Sementara Pak Mursalim mendongak berdoa dan akhirnya jatuh tertidur. Bang Jose kulihat keningnya tidak berhenti berkerut, resah sekali. Hmm ini tampaknya beban tanggung jawab seorang ketua tim. Tiga puluh menit berlalu dan mobil ambulan yang kami tumpangi berhenti di depan Rumah Sakit Syuhada. Ambulan berhenti cukup lama sehingga aku sempatkan untuk turun dan melihat keadaan rumah sakit. Beberapa lama kemudian, ambulan pun kembali bergerak berduyun-
duyun ke arah Gaza City.
Tiba tiba semua rombongan bus berhenti. Terdengar suara dalam bahasa Arab di radio HT dalam nada stress. Bus berhenti dalam waktu yang cukup lama sehingga membuat seluruh penumpang mulai merasa khawatir. Berita yang kudengar bahwa ada pertempuran di jalan dan ambulan harus berbalik arah mencari jalan lain.
Kami melalui jalan yang berliku naik dan turun. Kali ini rombongan ambulan terpaksa berhenti karena ada perintah dari depan. “No body move! Don’t open the door! Keep your head out of the window!"
Ambulan kembali berhenti cukup lama. Kulihat semua orang berkomat-kamit berdoa dan berdzikir. Aku tak tahu berapa lama ketegangan ini berlalu sampai akhirnya terasa dinding mobil dipukul dari luar, dan ambulanpun mulai bergerak perlahan.
Setelah ambulan kami berlalu cukup jauh, dokter Mesir menjelaskan bahwa di samping ambulan berbaris tentara Israel menyembunyikan tank sewaktu ambulan berhenti tadi.
Ketegangan itu telah berlalu, dan Alhamdulillah akhirnya kami tiba di Syifa hospital pukul 20.30.*** (dr. Indragiri, Sp.An. – Tim Medis MER-C untuk Palestina)