Jakarta berulang tahun ke 482. Beberapa penguasa kota ini selama 27 tahun (1972-1999) pernah melegalkan pelacuran dan melokalisasikannya pada sebuah tempat: Kramat Tunggak. Ali Sadikin, seorang gubernur fenomenal, berargumen kala mendirikannya: Memerlukan biaya besar untuk pembangunan Jakarta, dan prostitusi lebih baik dilokalisir -untuk dikontrol dan ditarik retribusi- daripada terpencar liar dimana-mana.
Dan hingga saat ini, argumen “lebih baik dilokalisasi daripada terpencar dimana-mana” masih masuk akal bagi banyak orang; beberapa pemda menggunakan argumen tersebut sebagai alasan untuk tidak mengusik lokalisasi. Bang Ali, dengan tetap menghormati jasanya di bidang lain, mungkin tidak akan mengatakan itu, jika mengetahui potensi kesalahan dalam paradigma kebijakannya.
Paradigma bahwa “prostitusi lebih baik dilokalisasi daripada terpencar dimana-mana” memiliki sebuah kesalahan fatal. Teori ekonomi dan fenomena empiris membuktikan, lokalisasi sebuah usaha (dikenal dengan aglomerasi ekonomi) akan menyebabkan usaha tersebut menjadi lebih besar.
Hal ini disebabkan: biaya usaha berkurang, harga jasa/barang menjadi lebih murah, suplai barang/pekerja lebih mudah, dan pasar yang luas lebih mampu dijangkau. Contoh umum yang sering digunakan adalah lokalisasi industri IT di Silicon Valley dan perdagangan komputer di Glodok.
Pada lokalisasi Kramat Tunggak, kekuatan aglomerasi ekonomi dapat diartikan dua hal: lebih mudah direkrutnya calon pekerja seks komersial (PSK), dan lebih banyaknya konsumen prostitusi dari kalangan yang lebih luas. Dengan kata lain, kebijakan lokalisasi justru memperbesar pelacuran daripada mengontrolnya. Kebijakan yang bermaksud tertentu malah berefek sebaliknya.
Kekuatan aglomerasi ekonomi pada lokalisasi Kramat Tunggak, secara tidak sadar, menciptakan kerugian-kerugian besar bagi warga Jakarta, sesuatu yang tidak dihitung, dan tidak sebanding dengan retribusi yang didapat.
Lebih mudah direkrutnya calon PSK mungkin salah satu kerugian terbesar. Tidak ada manusia yang bercita-cita menjadi PSK, dan memperbesar peluang seseorang menjadi PSK (dengan menghancurkan potensi produktifnya) merupakan dosa dan kerugian besar bagi sebuah masyarakat beradab.
Selain itu, pada saat belum populernya penggunaan alat kontrasepsi untuk mencegah penularan penyakit kelamin, kemampuan menjangkau konsumen yang lebih banyak dapat diartikan sebagai: kemampuan penularan penyakit kelamin yang lebih luas. Termasuk ke pasangan sah yang tidak tahu apa-apa. Penggunaan alat kontrasepsi pun tidak meniadakan kerugian berupa uang yang seharusnya bisa dibelanjakan dengan produktif, apalagi jika cara perolehannya sering menggunakan kejahatan.
Terdapat pula kerugian lain: rentannya masa depan anak-anak di daerah lokalisasi. Stephen Levitt, penulis buku Freakonomics, menunjukkan bahwa anak-anak yang “tidak diinginkan” dan besar pada lingkungan yang buruk, akan memiliki peluang yang lebih besar untuk menjadi seorang residivis.
Bahkan, untuk mengurangi tingkat kejahatan, Levitt mengadvokasi legalisasi aborsi bagi janin yang berpotensi dibesarkan pada kondisi tersebut. Sebuah rekomendasi logis dengan kacamata materialisme, namun salah tempat apabila Levitt mengenal keimanan dan akar masalah.
Dari situ, mungkin dapat dikatakan, legalisasi pelacuran selama 27 tahun merupakan salah satu catatan kelam Jakarta. Sebuah kebijakan Pemda yang salah, karena hanya ditopang oleh logika sederhana, tanpa iman dan pengetahuan yang cukup.
Bang Ali, mungkin berjasa besar bagi Jakarta untuk hal-hal lain, tetapi melegalkan prositusi, dan melokalisirnya menjadi Kramat Tunggak, merupakan kesalahan kebijakan yang tidak boleh diulang, baik di masa mendatang maupun di tempat lain.
Memang, Kramat Tunggah, sekarang sudah berubah, menjadi Islamic Center yang megah. Tapi, di tempat-tempat lainnya masih banyak lokalisasi tempat-tempat prostitusi yang dampaknya sangat luas.
"Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada kamu ayat-ayat yang memberi penerangan, dan contoh-contoh dari orang-orang yang terdahulu sebelum kamu dan pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa. (An-Nuur:24) (Rizki A.Hakim Mhs FE UI 2004)