Bayangkan, betapa hebatnya mafia produk pangan negeri ini, hingga Presiden pun mendapat tekanan. Kekuatan seperti apakah yang mampu menekan Presiden sedemikian rupa?Tidak mengherankan bila para menteri dan pejabat terkait banyak terkulai menghadapi dahsyatnya kekuatan mafia impor produk pangan tersebut.
Rizal Ramli sudah lama mencium adanya kekuatan para mafia impor yang bergabung dalam berbagai kartel produk pangan. Para mafia itu mendesak pejabat berwenang memberlakukan kebijakan kuota impor. Akibatnya, pemainnya hanya terbatas dan dikuasai kalangan mereka. Dari sini mereka bisa dengan bebas menentukan harga jual di dalam negeri sesuai yang dikehendaki. Dengan menyisihkan sebagian dari keuntungan superjumbo itulah, mereka menyogok pejabat terkait untuk melanggengkan sistem impor.
Rizal Ramli yang pernah menjadi penasehat ekonomi Perhimpunan Bangsa Bangsa (PBB) bersama beberapa pemenang hadiah Nobel, sudah lama dia mendesak agar Pemerintah segera menghapus sistem kuota impor dan menggantinya dengan sistem tarif. Lewat cara ini, pelaku impor terbuka bagi siapa saja. Negara pun memperoleh penerimaan dari bea masuk dan pajak-pajak impor. Selain itu, timing impor pun bisa disesuaikan dengan kebutuhan sehingga tidak merugikan petani lokal.
Kalau saja Presiden Jokowi mau memberikan perhatian lebih besar kepada petani dan sektor pertanian, mungkin keadaannya bisa jadi lebih baik. Petani bisa sejahtera dan lebih bersemangat menanam. Jumlah petani sangat besar, lho. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, sampai Februari 2017 penduduk yang bekerja di sektor pertanian mencapai 39,68 juta orang. Artinya, pertanian masih menjadi sektor penyerap tenaga kerja terbesar, yaitu sekitar 31,86% dari jumlah penduduk bekerja yang jumlahnya 124,54 juta orang.