Catatan Akhir Tahun 2017: Beras dan Petani, Lumbung Suara Yang Terlupakan

Salah urus

Dari sini terasa ada yang salah urus. HET telah memukul petani dengan telak. Kalau sudah begitu, jangankan menjadi sejahtera apalagi kaya raya, untuk sekadar menutupi biaya produksi pun petani sudah babak-belur.

Fakta ini sekali lagi menunjukkan, bagaimana kemiskinan di negeri ini terjadi karena kebijakan yang keliru. Entah dari mana hitung-hitungan yang dibuat para pejabat publik tentang HET, yang pasti kebijakan tersebut telah (makin) memiskinkan petani dan pengusaha penggilingan padi.

Dengan temuan seperti ini, tidak mengherankan kalau ekonom senior Rizal Ramli menyatakan menjadi petani adalah jalan menuju kemiskinan. Hal itu akan terus terjadi bila Pemerintah tidak mengubah kebijakan terkait petani dan produk pangan. Seharusnya, lanjut Kepala Badan Urusan Logistik (Bulog) era Presiden Gus Dur ini, Pemerintah menetapkan pricing policy yang tepat, yaitu yang menguntungkan petani namun tidak memberatkan rakyat pada umumnya sebagai konsumen.

Perihnya kehidupan tidak hanya dialami petani padi, tapi terjadi pada hampir semua produk pertanian. Pasalnya, apa pun yang dihasilkan petani, harga paska  panennya diserahkan bulat-bulat pada mekanisme pasar. Saat hasil panen dibawa ke pasar, harganya jatuh. Petani tidak bisa berbuat apa-apa selain pasrah.

“Mestinya Pemerintah melindungi petani. Caranya, tetapkan harga pasar produksi yang menguntungkan petani. Jangan biarkan selama puluhan tahun petani terus merugi dan dijerat kemiskinan,” ujar Rizal Ramli dalam diskusi dengan masyarakat petani Komunitas Selaras Alam dan para pendidik pesantren di Agam, Sumbar, 5 November 2017 silam.

Tak pelak lagi, beras adalah komoditas strategis yang amat penting di Indonesia. Komoditas ini menjadi makanan pokok sebagian besar dari sekitar 260 juta rakyat Indonesia. Begitu pentingnya beras dan petani, membuat mendiang Presiden Soeharto sangat serius dalam menanganinya.