Catatan Akhir Tahun 2017: Beras dan Petani, Lumbung Suara Yang Terlupakan

Eramuslim ā€“ Di ujung pergantian tahun rakyat dihajar dengan melambungnya harga beras. Hujan berkepanjangan yang mengguyur sejumlah sentra produksi, menjadi penyebab anjloknya produksi padi. Ujung-ujungnya, pasokan ke pasar jauh berkurang dan harga pun melambung.

Gagal panen melanda sejumlah daerah penghasil padi. Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Lampung dalam dua pekan terakhir pasokan padi sangat terbatas. Harga gabah dan beras melonjak. Usaha penggilingan padi skala kecil bergelimpangan. Mereka kehabisan gabah. Kalau pun masih ada yang beroperasi, umumnya jauh di bawah kapasitas normal.

Benarkah alam jadi satu-satunya penyebab? Dalam gonjang-ganjing perberasan, sejatinya kebijakan pemerintah juga punya peran penting. Tahun ini, ‘bencana’ itu pun dipicu adanya kebijakan harga eceran tertinggi (HET) beras yang ditetapkan pemerintah.

Di lapangan, matematika HET beras medium yang Rp9.450/kg tidak bisa diterapkan. Harga beli gabah kering panen (GKP) dengan rendemen 50-52% kini sudah menembus Rp5.000/kg. Akibatnya, ongkos produksi beras di tingkat penggilingan menyentuh Rp 9.600-Rp 10.000 per kg. Dengan kalkulasi seperti ini, bagaimana mungkin mereka bisa menjual beras tidak melewati HET? Data Kementerian Perdagangan malah menyebut harga rata-rata beras medium nasional telah mencapai Rp10.845 per kg.