Ada dua larangan untuk umat Muslim dalam ayat 221, yakni pernikahan antara Muslim dengan perempuan musyrik, dan perempuan Muslimah dengan pria musyrik.
Buya Hamka mencontohkan beberapa kasus di zaman Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam, yakni Martsad Al-Ghaznawi dan Inaq.
“Apabila Islam telah menjadi keyakinan hidup, hendaklah hati-hati memilih jodoh.” Buya HAMKA.
Sebelum masuk Islam, Martsad adalah kekasih Inaq. Namun, saat sudah masuk Islam, oleh Nabi tidak diperbolehkan menikah dengan wanita musyrik. Turunnya Surah 221, menurut catatan Imam Suyuthi, di antaranya adalah karena peristiwa ini.
Buya HAMKA juga menjelaskan tentang pria Muslim yang menikahi perempuan musyrik. “Sebab laki-laki yang beriman kalau mengawini perempuan musyrik akan terjadi hubungan yang kacau dalam rumah tangga. Apalagi kalau sudah beranak.”
Pentingnya iman yang sama dalam pernikahan juga disampaikan Buya HAMKA. Pada model rumah tangga yang berbeda keyakinan, Buya HAMKA berpendapat, akan sulit mendapatkan rasa aman.
Mereka yang musyrik, akan mengajak ke neraka. Baik itu neraka dunia maupun neraka akhirat. Persoalan juga akan timbul ketika mereka memiliki anak.
“Tidak akan sentosa pertumbuhan jiwa anak itu di bawah asuhan ayah dan bunda yang berlainan haluan.”