Pengamat ekonomi Indef Dradjad Wibowo mendesak DPR untuk membatalkan UU No.22/2001 tentang Migas (Minyak dan Gas). Karena UU ini dinilai sebagai pintu masuk perusahaan asing menguasai migas Indonesia. Demikian Drajad H. Wibowo kepada pers dalam diskusi di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Jum’at (17/3).
Solusinya jika UU Migas itu dibatalkan pemerintah menggunakan UU No.871/1986 hingga terbentuknya UU Migas yang baru. “Dengan UU baru itu diharapkan Pertamina melebihi Petronas,” ujar Dradjad.
Tapi, politisi asal FPAN ini pesimistis dengan langkah tersebut karena DPR sepertinya sudah tidak mampu berbuat apa-apa lagi kecuali sebagai stempel pemerintah. Yang pasti pasca kontrak ExxonMobil dengan Pertamina beberapa waktu lalu itu, sudah tidak mungkin lagi Exxon diusir dari Indonesia.
Di tempat yang sama, anggota Komisi VI FPKS Zulkiflimansyah mengaku khawatir atas penunjukkan ExxonMobil Oil Indonesia (EMOI) sebagai operator di Blok Cepu. Pasalnya, perusahaan asing itu masih berpeluang melakukan manipulasi angka-angka produksi dan lain-lainnya seperti cost recovery (biaya eksplorasi) dan sebagainya, sehingga biaya mahal.
Dari kasus Blok Cepu ini, tegas Bang Zul, demikian anggota Komisi VI ini akrab disapa, Pertamina harus terus dibenahi agar Pertamina dan pemerintah tidak selalu tergantung pada asing. “AS pasti menekan Indonesia terkait Exxon dan Freeport,” ujar Bang Zul.
Dijelaskannya, sejak dulu sudah ada sekanrio Amerika dan negara-negara Barat untuk menguasai aset strategis di Asia Tenggara khususnya migas dan pertambangan.
Karena itu pula, setelah Korea dan China tahu akan hal tersebut maka kedua Negara ini memacu teknologi eksplorasi migas untuk ditransfer ke negaranya. Kendati lama, sekarang dua Negara maju di kawasan Asia Timur sudah mandiri dan tidak tergantung pada AS.
Sementara itu pengamat Migas M. Qurtubi menyatakan, “Setelah dibentuk UU No.22/2001 tentang Migas tersebut Migas dikuasai oleh BP Migas, sehingga hasil produksi pertamina tidak bisa langsung diuangkan (dollar AS) sebelum melalui BP Migas dan Departemen Keuangan (Depkeu),” terangnya. (dina)