Perang tanding ditabuh. Para capres dan cawapres, mereka secara resmi mulai memasuki hari-hari kampanye. Mereka masing-masing akan berusaha ingin mendapatkan dukungan rakyat. Dengan timnya masing-masing, mereka terus melakukan penggalangan. Siang dan malam. Langsung kepada rakyat, atau melalui media elektronik dan cetak. Sekarang setidaknya ada tiga calon pasangan yang akan berlaga di pilpres nanti. Masing-masing dengan keyakinannya, bahwa mereka akan memenangkan pilpres. Mega, SBY, dan JK, dengan pasangannya, berlaga di bulan Juli nanti.
Mega ingin mewujudkan ekonomi kerakyatan. Dengan dukungan Prabowo Subianto, secara gegap gempita, keduanya berjanji mengusung platform ekonomi kerakyatan. Bahkan, tak segan-segan, pasangan ini membuat janji, yang sangat ‘hebat’, ingin menaikan pertumbuhan ekonomi ‘double digit’, entah ilmu dari mana, yang akan dipakainya. Padahal, menurut seorang ekonom, menaikkan pertumbuhan satu digit saja, sudah harus membutuhkan 1600 triyun rupiah. Tentu, cawapres Mega, yaitu Prabowo ini, yang paling heboh, bahkan oleh Permadi dicitrakan sebagai ‘Soekarno kecil’ atau seperti pemimpin Venezuela, Hugo Cavez. Dengan semangat mengambil alih semua asset asing,yang ada di Indonesia.
Sebaliknya, kata kerakyatan yang muncul di mana-mana, bagaikan meteor itu, mendapatkan lawannya, yaitu ekonomi neo-lib, yang merupakan akronim dari neo-liberalisme, yang mencuat dan menimbulkan perdebatan tak habis-habis, hingga kini. Munculnya, neo-lib ini, akibat Presiden SBY memilih sosok Prof.Dr.Boediono menjadi pasangannya sebagai cawapres. Tapi, Boediono menyangkal dirinya penganut neo-lib. “Masak, saya dituduh neo-lib”, kata Boediono, ketika bertemu dengan Civitas Academica Universitas Gajah Mada. Ekonomi neo-lib, tak lain mazhab ekonomi ini, secara sederhana dipahami segala sesuatu yang mengharamkan campur tangan negara dalam pengelolaan ekonomi, dan 100 persen diserahkan kepada mekanisme pasar.
Soal neo-lib ini seperti dikatakan Kwik Kian Gie, dan Fuad Bawazir, yang keduanya sekarang mendukung pasangan JK-Win, menjelaskan hakekat ‘Neolib itu konsensus Washington, dekat dengan Dana Monoter Internasional (IMF) dan Mafia Berkeley’, ujar mereka. Fahmi Idris, juga menambahkan, bahwa, Boediono setidaknya mengakui neoliberalisme itu mempunyai peranan yang sangat dalam terhadap ekonomi Indonesia. “Dalam pidatonya di Bandung, Boediono akan memoderasi perkembangan ekonomi. Artinya, dia mengakui ada yang ekstrim dalam kebijakan ekonomi yang berbasis dari pandangan neolib”, tambah Fahmi.
Sementara itu, Senin kemarin, DPN (Dewan Perubahan Nasional), dalam acara diskusi yang diselenggarakan di Jakarta, menuding ada upaya cuci tangan tidak mengakui kebijakan ekonomi neo-libaral. “Menurut kami, kebijakan pemerintah dalam lima tahun terakhir ini telah menggenapkan ekonomi liberal”, ungkap Chalid Muhammad,yang mantan Ketua Walhi. Dalam diskusi yang bertaju, ‘Kami Generasi Anti Uang’, dihadhiri oleh sejumlah aktivis pergerakan diantaranya, Ketua KAMMI, Rahman Amang Toha, Ketua LIMA, Ray Rangkuti, dan aktivis angkatan ’98, Beginda Pakpahan. (Republika, 2/6/2009). Boediono menjadi Menkeu di zamannya Presiden Mega, dan menjadi Menko Ekuin dan Gubernur BI di zamannya Presiden SBY. Jadi Boediono mempunyai peranan yang penting dalam menentukan kebijakan ekonomi Indonesia.
Lebih lanjut, mantan Direktur Walhi, Chalid Muhammad, menegaskan adanya sejumlah bukti, di mana pemerintah yang sangat pro neo-lib, yaitu adanya sejumlah undang-undang yang pro asing, dan merupakan produk pemerintah sekarang, seperti UU (undang-undang) No.7 Tahun 2007, tentang Sumber Daya Air, UU (undang-undang) No.25 tahun 2007, tentang Penanaman Modal Asing,yang diperkuat dengan Perpres No.76 tahun 2007 tentang Kriteria dan Persyaratan Penyusunan di Bidang Penanaman Modal, dan Perpres No.77 tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha yang tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka.
Meskipun, menurut Chalid , ironisnya pemerintah membuat kamuflase dalam kebijakannya, seperti dikeluarkannya program Bantuan Tunai Langsung (BLT), PNPM, dan Kredit Usaha Rakyatr (KUR), yang hanya ingin meninabobokkan rakyat, ujar Chalid. Hal ini juga diklaim oleh Boediono, yang mengatakan adanya BLT itu, dikala ia menjadi menjadi Menko Perekonomian. “Ketika program Bantuan Langsung Tunai digulirkan, saya adalah Menteri Koordinator Perekonomian”, ucap Boediono.
Tentu, yang tidak dapat ditolak Boediono, yaitu pernyataan Ketua Dewan Pembina Partai Amanah Nasional (PAN), yang meminta Boediono keluar dari IMF. Menurut Amin Rais,yang menyatakan bahwa Boediono per 29 April 2009, diangkat menjadi Dewan Gubernur IMF. Ini membuktikan Boediono, tak lain adalah bagian dari rejim IMF, World Bank, dan WTO, yang memang pemilik dari neo-lib, yang kebijakannya telah terbukti menyengsarakan rakyat kecil, dan terjadinya krisis di mana-mana, termasuk di Indonesia, yang terus berlangsung sampai sekarang.
Akankah rakyat Indonesia dapat mandiri, terbebas dari perbudakan dan penjajahan asing, dibawah kepemimpinan yang baru nanti? Atau sebaliknya, justru cengkeraman asing semakin dalam terhadap kepentingan nasional Indonesia. Terserah rakyat. (m/Repb)