Keberadaan Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) dinilai tak lebih dari sekadar tukang stempel kehendak penguasa.
Hal ini disampaikan anggota Komisi III DPR, Benny K Harman, saat rapat dengar pendapat (RDP) bersama perwakilan MA, MK, dan Komisi Yudisial (KY) terkait pembahasan anggaran 2025 pada hari ini, Rabu (4/9).
“MK sama juga dengan MA merujuk pada agenda strategis nasional yang disusun oleh pemerintah ya, yang disusun oleh eksekutif bukan pemerintah dalam arti luas,” kata Benny dalam rapat di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (4/9).
Menurut Legislator asal Partai Demokrat ini, MA-MK keliru kalau memposisikan diri sebagai pihak eksekutif.
“Ini ada problem dengan model semacam itu lembaga-lembaga yang bapak pimpin ini ditempatkan sebagai subordinasi kekuasaan eksekutif. Saya rasa, saya pikir, itu keliru kalau bapak-bapak, ibu, memposisikan MA, MK, dan KY bagian dari eksekutif,” paparnya.
Lebih lanjut, Benny menyebut bahwa rancangan anggaran yang diusulkan MA, MK, dan KY tak berdasarkan agenda sendiri. Tapi justru ingin menyukseskan program pemerintah.
“Saya lihat di sini bukan hanya anggaran yang tidak punya otonomi tapi juga visinya juga tidak otonom. Malah ikut menyukseskan program pemerintah, quote and quote eksekutif. Tidak bisa MK begitu,” jelasnya.
“MK itu tidak menjalankan tugas pemerintah. Tidak melaksanakan program pemerintah. Begitu juga MA, begitu juga KY,” sambungnya.
Untuk itu, Benny berharap lembaga yudikatif ini bisa membangun visi misi mengacu pada kewenangan yang dimiliki. Nah, di momen inilah Benny lantas menyinggung MA-MK sebagai lembaga tukang stempel.
“Jadi masuk akal Pak Hinca dan Pak Ketua, kalau kemudian MA itu bikin judicial review PKPU, itu masuk akal. Karena cara pikirnya tadi adalah melaksanakan program pemerintah,” paparnya.
“Maunya pemerintah MA jadi tukang stempel. Sama juga dengan MK, tukang stempel kehendak penguasa, itu akibatnya. Oleh sebab itu, saya mengkritisi ini siapa yang menyusun dan menetapkan ini,” tandasnya. (sumber: RMOL)