Snouck Hurgronje Belajar Islam sampai ke Mekkah
Pergi haji ke Mekkah merupakan rukun Islam kelima. Mekkah, kota yang hanya boleh dimasuki oleh orang Islam ini, pada masa penjajahan sangat dimonitor oleh Belanda. Banyak pelarian dari Hindia Belanda yang gencar melawan penjajahan Belanda, bersembunyi di sana. Untuk memantau aktivitas mereka, Belanda membuka konsulat di Jeddah, kota yang berjarak sekitar satu jam dari Mekkah.
Kekhawatiran Belanda muncul karena berbagai sebab. Pemberontak akan mempengaruhi orang-orang Indonesia yang beribadah haji, ditambah dengan gencarnya gerakan Pan Islamisme yang dipelopori Jamaluddin Al-Afghani–paham mengenai persatuan umat Islam sedunia. Demikian mengancam legitimasi penjajahan Belanda di Indonesia.
Snouck yang menulis tesis berjudul “Festival Mekah” lantas dilirik pemerintah Belanda. Ia dinilai punya pemahaman mendalam tentang Islam. Hal itu dinilai akan sangat berguna dalam misi Belanda menduduki Aceh. Konsulat Belanda di Jeddah pun menawarinya belajar Islam langsung di Mekkah.
Bagaimana tawaran ini bisa terwujud, sementara Snouck bukan seorang Muslim?
Pada 1885, mula-mula ia tinggal di Jeddah bersama bangsawan asal Pandeglang, Raden Haji Aboe Bakr Djajadiningrat–yang darinya juga Snouck belajar bahasa Melayu. Di tahun yang sama, Snouck mengucap keinginannya masuk Islam. Ia pun bersyahadat di hadapan qadi (hakim) bernama Isma’il Agha, berikut dua orang saksi.
Pengetahuan Snouck yang tajam soal Islam memuluskan langkahnya. Ketika berhasil menginjakkan kaki di Masjidil Haram, ia menulis surat kepada temannya, Carl Bezold, membanggakan tentang betapa sumpah syahadatnya tak dipertanyakan. Dalam perjalanannya menyusupi Mekkah sebagai “mualaf”, ia bahkan digelari berbagai sebutan seperti “Mufti” dan “Sheikh al Islam of Batavia”.
Untuk tahu soal seluk beluk Aceh, ia belajar kepada Habib Abdoerahman Az-Zahir, ulama Mekkah yang pernah pergi ke Aceh. Habib Abdoerahman bersedia menerima Snouck sebagai murid karena ia mengaku ingin membantu orang Aceh melawan penjajahan Belanda.