Eramuslim – Kepolisian menjadikan Hermawan Susanto sebagai tersangka makar (dengan ancaman hukuman mati) karena mengancam memenggal kepala Presiden Joko Widodo. Ancaman disampaikan saat Hermawan ikut berunjuk rasa di depan Kantor Bawaslu RI pekan lalu.
Namun, tindakan polisi dianggap kurang adil ketika menangani perkara. Kepada pihak yang tidak suka dengan Jokowi, polisi cepat bergerak. Sebaliknya dengan pihak yang mendukung Jokowi, penegakan hukum berjalan lambat.
Menurut Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukun Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, hal ini tidak baik bagi penegakan hukum di Indonesia.
“Masyarakat tidak percaya hukum. Masyarakat sangsi pada aparat,” kata Isnur, Senin (13/5/2019).
Setidaknya beberapa kasus bisa menggambarkan hal ini. Misalnya kasus ujaran kebencian yang dilakukan Viktor Laiskodat, politikus Nasdem, pada 2017. Kasus tersebut tidak diproses polisi lantaran dalih impunitas anggota dewan dan diproses Majelis Kehormatan Dewan (MKD) di DPR. Hukuman Viktor akhirnya hanya pelanggaran etika dan tidak sampai pada pidana.
Pada tahun yang sama, ada kasus ancaman pembunuhan yang dilakukan Nathan Suwanto. Lewat akun Twitter-nya, Nathan mentwit menanyakan kepada publik ihwal jasa menyewa pembunuh bayaran untuk “membunuh” Fadli Zon, Fahira Idris, ataupun Rizieq Shihab, dan Buni Yani.
Sampai sekarang Nathan tidak ditangkap dan twitnya telah dihapus, padahal ancaman pembunuhan bisa masuk ke dalam delik umum dan tak perlu menunggu aduan.