Pembangunan rumah ibadah, harus mendapatkan dukungan masyarakat sekitar. Ketentuan ini tertuang dalam surat keputusan bersama (SKB) dua Menteri, Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri.
“Jika dukungan masyarakat setempat belum terpenuhi, maka Pemerintah Daerah berkewajiban memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan rumah ibadah,” jelas Koordinator Solidaritas Generasi Muslim Kota Batam, Yulman di Batam Centre, Senin (9/7/2012).
Yulman menjelaskan, secara umum SKB dua Menteri menyebutkan, setidaknya terdapat empat poin penting dalam pembangunan rumah ibadah. Diantaranya melampirkan daftar nama dan kartu tanda penduduk (KTP) pengguna rumah ibadah paling sedikit 90 orang. Daftar ini harus disahkan pejabat setempat, sesuai dengan tingkat batas wilayah.
Pejabat setempat dimaksud adalah Lurah/Kepala Desa, jika rumah ibadah dan pengguna rumah ibadah memiliki batas wilayah lebih dari satu RW. Ataupun Camat, jika rumah ibadah dan pengguna rumah ibadah memiliki batas wilayah lebih dari satu Kelurahan/Desa.
Kemudian, pembangunan rumah ibadah juga harus mendapat dukungan masyarakat setempat. Paling sedikit 60 orang yang disahkan oleh Lurah/Kepala desa.
Selanjutnya, mendapatkan rekomendasi tertulis dari Kepala Kantor Kementerian Agama di tingkat Kabupaten/Kota. Dan terakhir, mendapatkan rekomendasi tertulis Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) di tingkat Kabupaten/Kota.
“Tidak terpenuhinya seluruh persyaratan inilah yang terkadang menimbulkan persoalan antar umat beragama terkait pendirian rumah ibadah,” jelasnya.
Menurut Yulman, sebuah rumah ibadah dibangun tentu didasarkan kebutuhan jamaah. Sebagaimana ketentuan dalam mengumpulkan “barang bukti” berupa daftar nama dan KTP dari setidaknya 90 orang jamaah. Sehingga benar-benar membuktikan bahwa rumah ibadah tersebut memang perlu dibangun.
Begitupun dengan persratan dukungan paling sedikit 60 orang masyarakat setempat. Tentunya persyaratan ini sudah melalui kesepakatan bersama saat akan ditetapkan SKB tersebut.
“Berbicara mengenai hak asasi, setiap orang memiliki hak asasi yang dibatasi peraturan dan undang-undang. Jangan dengan alasan hak asasi, ketentuan ini bisa seenaknya ditabrak. Karena hak asasi seseorang juga dibatasi oleh hak asasi orang lain,” imbuhnya.(fq/isukepri)