Direktur Eksekutif WALHI Jakarta, Slamet Daroyni menyatakan, penyebab utama banjir di antaranya adalah menyusutnya daerah tangkapan air (catchment area) dan ruang terbuka hijau (green open space) akibat alih fungsi lahan yang tidak terkendali.
“Tidak hanya di wilayah Jakarta yang hanya tersisa 6% dari luas wilayah 661, 62 km2, tapi juga daerah buffer zone di wilayah Bogor, Cianjur dan Depok yang mengalami perubahan yang signifikan, " ujar Slamet kepada wartawan di Kantor WALHI Jakarta, Kamis (22/2).
Parahnya lagi, katanya, banyak pembangunan oleh pengembang maupun perorangan yang membuat bangunan tanpa mengindahkan aliran sungai. "Badan-badan sungai dipersempit untuk kebutuhan bangunan. Sementara, sedimentasi dan sampah yang memenuhi badan sungai hanya 40% saja yang terangkut, " sambung dia.
Akibatnya, dengan curah hujan dengan skala sedang pun beberapa wilayah Jakarta akan tergenang. "Banjir kiriman dari wilayah hulu semakin meningkatkan ketinggian dan luasan banjir di Jakarta, " katanya.
Sayangnya pemerintah sering menjadikan proyek Banjir Kanal Timur sebagai alasan. Padahal, terang Slamet, dari analisis para ahli, Banjir Kanal Timur hanya mampu mereduksi 24% wilayah banjir tahunan Jakarta.
"Banjir kanal yang digagas sejak zaman Hindia Belanda memang dirancang hanya untuk satu juta warga dengan ruang terbuka hijau dan daerah tangkapan air sebesar 60% dan penduduk Jakarta telah mencapai 7. 515. 286 jiwa yang tercatat secara resmi. Sedangkan angka sesungguhnya bisa mencapai 12 juta lebih, " papar Slamet (dina)