“Kehidupan demokrasi seperti apa yang akan terbangun jika ormas yang merupakan bagian dari masyarakat madani, yang juga merupakan pilar demokrasi, tidak berani bersikap kritis terhadap pemerintah karena takut dibubarkan?,” jelasnya.
Fahira mengungkapkan, jika pemerintah sudah diberi kuasa penuh menjadi penafsir tunggal Pancasila, dan menjadi institusi yang paling berhak memutuskan sebuah ormas bersalah, melanggar hukkum, dan bertentangan dengan Pancasila, maka sangat berpotensi menggunakan parameter like dan dislike dalam membubarkan sebuah ormas.
“Bayangkan jika ada satu juta anggota ormas yang kemudian ormas itu dianggap melanggar hukum dan bertentangan dengan Pancasila. Maka satu juta anggota ormas itu berpotensi masuk penjara semua,” kata dia.
Dengan begitu, Fahira mempertanyakan sistem hukum yang ingin diterapkan pemerintah dan mayoritas partai di DPR saat ini. Menurutnya, hal itu betul-betul di luar akal sehat.
“Yang membedakan negara demokrasi dan bukan demokrasi adalah sejauh mana lembaga peradilan diberi peran dalam menjaga check and balance dari pemegang kekuasaan,” tutur dia.
Jika negara tersebut demokratis, kata dia, maka lembaga peradilan menjadi aktor kunci untuk menjaga check and balance dari pemegang kekuasaan. Sehingga, akuntabilitasnya terjaga sebagaimana aturan main dari demokrasi.
Ia menambahkan, lembaga peradilan dalam negara demokrasi juga sebagai pemasti agar tidak ada kebijakan pemegang kekuasaan yang melanggar hak asasi manusia (HAM). Soal ormas, Perppu yang sudah disahkan menjadi UU No. 2/2017 itu, menurut Fahira, sama sekali tidak memberi peran terhadap lembaga pengadilan.(kl/rol)