Sejak Hizbut Tahrir Indonesia dalam pelaksanaan konferensi khilafah menyuarakan dengan lugas penegakan khilafah Islamiyah, berbagai kalangan mulai mengkritisi ide tersebut. Pengurus Pusat Baitul Muslimin Indonesia (BAMUSI) yang didirikan PDI-P menilai bentuk khilafah yang dikembangkan saat ini tidak akan sama, dengan zaman sesudah Nabi Muhammad SAW mempercayakan para sahabat untuk menjadi khalifah.
"Landasan khilafah yang ada sekarang berbeda, karena sahabat nabi yang bisa menjadi khalifah, itu orang cerdas, terpercaya, dan dipilih oleh seluruh umat, ketika itu diterapkan saat ini, siapa yang menjadi khalifah dari keluarga nabi, apakah dari Arab Saudi, dari Yaman, ataukah dari Indonesia, "ujar Ketua Umum Baitul Muslimin Indonesia Hamka Haq dalam jumpa pers, di Kantor Sekretariat DPP PDIP Lenteng Agung, Jakarta, Rabu(15/8).
Menurutnya, seperti perkembangan dalam sejarah Islam setelah zaman Khulafah Rasyidin, praktek politik Islam tidak lagi mencerminkan musyawarah mufakat, tetapi praktek demokrasi yang dibangun pada masa kekhalifahan itu justru berubah menjadi monarki absolut.
Lebih lanjut Hamka menegaskan, untuk saat ini konsep khilafah ini hanya cocok digunakan kegiatan keagamaan dan yang dilakukan pada masa lalu, sedangkan untuk saat ini konsep tersebut belum tentu cocok dikaitkan dengan kegiatan politik.
"Kalau khilafah dikaitkan dengan politik, di mana NKRI harus menjadi bagian khilafah, tentunya pemerintah harus bubar dan konstitusi harus dibubarkan, itu berarti ancaman bagi NKRI, "tukasnya.
Senada dengan itu, Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri Baitul Muslimin Indonesia Helmi Hidayat menyatakan, konsep yang ditawarkan Hizbut Tahrir merupakan konsep yang baik, tetapi kondisi umat Islam pada saat ini berada di dalam batas-batas wilayah negara masing-masing, sehingga agak sulit untuk mewujudkan konsep tersebut.
Untuk menghilangkan kontroversi mengenai khilafah itu, Ia menyarankan, agar masing-masing bangsa menjadi khalifahnya di negeri sendiri.(rz/novel)