”Ketika sudah dalam tahap adiksi, orang-orang ini ibarat tidak bisa dilepas dengan ponselnya. Sama seperti kalau orang kecanduan narkoba, tapi tidak dapat suplai. Akhirnya muncul sakau dan mereka bakal melakukan apa pun supaya mendapat apa yang mereka mau,” lanjutnya.
Hendro mengungkapkan, kacaunya produksi endorfin tersebut diperparah dengan kondisi pecandu yang umumnya kurang tidur. Pria yang juga mengajar di Universitas Katolik Widya Mandala tersebut menuturkan bahwa dalam kondisi itu, pecandu akan mengalami gangguan emosional. ”Mereka jadi lebih sensitif. Jika kasusnya parah, mereka akan marah-marah dan berperilaku anarkistis,” tuturnya.
Di sinilah peran penting cognitive behavioral therapy (CBT) yang merupakan sesi konseling dengan tujuan mengubah pola pikir korban dengan ’’menggali’’ informasi terkait problem yang tengah dialami.
Terapi tersebut ditambah dengan aktivitas tanpa gawai dan mengurangi jam berinternet secara bertahap. ”Prinsipnya, kita nggak bisa frontal,” tegasnya.
Selain depresi, internet berisiko memicu pengguna setianya menjadi antisosial. ”Pengguna media sosial yang agresif kita tengarai punya kecenderungan ke arah tersebut,” katanya. Dia memaparkan, dunia maya mendorong seseorang jauh lebih berani berekspresi dan berujar. Sebab, mereka tidak perlu bertatap muka langsung dengan lawan bicara. Banyak yang berani mengumbar ledekan atau hate speech di sana.
”Senang melihat orang lain susah atau justru bangga ketika orang lain tersiksa karena aksinya adalah salah satu tanda antisosial. Tapi, untuk menyatakan status itu, dokter perlu melakukan pemeriksaan,” paparnya.
Dia menyebutkan, di antara gangguan kepribadian lainnya, antisosial merupakan gangguan yang paling sulit diobati. ”Ada kombinasi antara CBT, terapi kombinasi lain sesuai analisis, dan obat-obatan. Namun, belum ada terapi tepat yang spesifik untuk antisosial,” ungkapnya.