Si pengunggah berekspektasi mendapat perhatian dari pengikutnya. Mereka lantas terus-menerus ngecek, berapa sih yang like fotonya. Siapa saja sih yang sudah memujinya. Perempuan yang juga dosen Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UINSA itu menjelaskan, sikap narsistik tersebut bisa jadi akar body dysmorphic disorder (BDD).
’’Misal, ada komentar yang bilang ’sekarang gemuk, ya’. Buat yang biasa, tentu nggak terlalu masalah. Tapi, buat yang sudah telanjur ketagihan dipuji, muncul tekanan untuk tampil sempurna,’’ tegas Mierrina.
Mereka kemudian terobsesi untuk kurus. Caranya macam-macam. Yang positif adalah olahraga dan diet seimbang. Namun, banyak yang sampai menjalani diet superketat atau melakukan berbagai tindakan pelangsingan tanpa pengawasan ahli. Penderita BDD juga rentan mengalami depresi karena dibayangi kekurangan fisik yang dirasa perlu tutupi.
Dalam kasus ekstrem, Mierrina menyatakan bahwa pecandu gawai mengalami no mobile phone phobia. Penderita fobia tersebut memiliki kekhawatiran tidak rasional ketika ponselnya tertinggal atau dalam kondisi mati.
’’Mereka takut ketinggalan berita. Di sisi lain, secara sosial, mereka takut dianggap mengabaikan atau dicap sombong kalau terlambat membalas chat atau tidak mengunggah foto atau video di media sosial,’’ paparnya.
Dr Hendro Riyanto SpKJ menilai kecanduan gawai sebagai candu yang sama kuatnya dengan narkoba. ”Sebab, kinerjanya hampir sama. Mengakses konten di media sosial atau internet yang ada di gawai bisa meningkatkan endorfin yang memicu rasa senang,” terangnya.
Spesialis kesehatan jiwa di RS Jiwa Menur, Surabaya, itu menyatakan bahwa produksi endorfin berlebihan akan menimbulkan adiksi.