Jakarta—Penghilangan ayat tentang tembakau pada RUU Kesehatan dinilai sebagai modus baru dalam kejahatan konstitusi. Hal ini diungkapkan oleh Indonesian Parliamentary Center (IPC). Terlepas dari faktor teknis atau pun ketidaksengajaan penghilangan ayat tersebut, kasus ini harus diusut tuntas karena hilangnya satu ayat dalam UU yang akan disahkan ini berdampak besar bagi masyarakat.
Ayat 2 Pasal 113 UU ini seharusnya berbunyi:
“ zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya.”
Hilangnya ayat ini diketahui oleh Mensesneg, Hatta Rajasa, saat melakukan pengecekan detail sebelum proses pengesahan. Dokumen RUU Kesehatan diterima Setneg pada 28 September 2009. Pansus RUU Kesehatan ini merupakan bagian tanggung jawab Komisi IX dan RUU tersebut telah disahkan pada rapat paripurna DPR pada 14 September 2009. Untuk mengesahkan RUU ini menjadi UU Kesehatan dan diundangkan di Lembar Negara, Setneg akan menyerahkan dokumen RUU, yang sudah bersampul dengan logo presiden, untuk diperiksa dan diparaf per halaman oleh Menteri Kesehatan, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, serta Mensesneg. Kemudian, RUU ini ditandatangani oleh Presiden dan diundangkan dalam Lembaran Negara.
Di lain pihak, Ketua Komisi IX DPR periode 2004-2009, Ribka Tjiptaning (F-PDIP) membantah adanya kesengajaan dalam menghilangkan ayat (2) pasal 113 tentang tembakau sebagai zat adiktif tersebut. Ribka mengungkapkan bahwa terdapat perbedaan pendapat di antara para anggota Komisi IX dalam pembahasan RUU ini. Anggota komisi yang berasal dari F-PDIP keberatan dengan ayat tersebut karena dapat merugikan konstituennya yang berbasis petani dan buruh. Sebagian anggota lain menyetujui ayat tersebut dengan alasan kesehatan. Namun, pada akhirnya, rapat memutuskan untuk tetap mencantumkan ayat tersebut dengan alasan kesehatan.
Meskipun beberapa pihak mengatakan hal ini sebagai kesalahan teknis, namun jika ‘korupsi’ ayat dalam RUU tersebut terjadi, dampaknya terhadap masyarakat akan sangat luas. Konsekuensi pencantuman ayat tersebut adalah ketegasan pemerintah dalam mengendalikan produk terkait tembakau, mulai dari iklan, kadar nikotin dan tar, ruang-ruang khusus penggunaan produk tembakau, hingga batasan usia pengguna.
Jelas saja, RUU ini rentan dengan campur tangan kepentingan pemilik modal, rumah sakit swasta, pabrik rokok, pabrik farmasi, dan pabrik jamu. Bukan tidak mungkin ‘kesalahan teknis’ ini juga hasil rekayasa pihak-pihak yang tidak ingin RUU ini merugikan mereka. Padahal sudah jelas, penghilangan ayat dalam UU hanya boleh dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dan penghilangan ayat ini termasuk tindak pidana. Pelakunya dapat dikenakan pasal pemalsuan, penggelapan dan penipuan. (Ind/berbagai sumber)
foto: primaironline