Lalu ada tulisan Markus. Karya Markus merupakan Injil terpendek. Ia mengenal nabi Isa as melalui Batres di akhir masa hidupnya. Ia juga sering bersama Barnabas. Selain itu ada tulisan Lukas. Sumbangan tulisan Lukas dalam Injil lebih banyak dipengaruhi budaya Yunani. Mengenai hal ini dapat dimaklumi, karena Lukas hidup dan besar di Antokiah, Turki, dekat dengan Yunani. (Dr. Ahmad al-Samhrani, Al-Bayan fi Muqaranah al-Adyan, 2001).
Dari penelitiannya itu, al-Sahmarani menyimpulkan, wajar saja bila dalam Injil terjadi berbagai macam penyimpangan dan kekeliruan. Dalam bukunya yang terbaru, The Biografical of Bibel (2007), Karen Amstrong, menjelaskan, revisi dan kritik terhadap Injil itu terus berlanjut, dan yang paling serius dimulai oleh Baruch Spinoza.
Kendati demikian, kalangan Kristen tetap keras kepala atas kekeliruan kitabnya itu. Setelah 23 tahun, datang lagi penghujat Al-Qur’an. Dialah Johannes al-Dimasyqi. Ia menuduh Islam sebagai salah satu sekte bid’ah. ”Muhammad menulis banyak cerita bodoh, yang setiap satu darinya, ia lengkap sebelumnya dengan judul. Misalnya, diskurusu tentang wanita, di mana ia jelas melegalisir seseorang untuk memiliki empat isteri dan serubu selir jika sanggup, sebanyak yang ia mampu menjaga mereka di samping empat isteri, ” tuduh Johannes. (Adnin Armas, Metodologi Bibel).
Penghinaan Johannes tidak berhenti di situ. Masih banyak lagi. Langkah selanjutnya juga dilakukan ’Abdul Masih al-Kindi (873). Menurutnya, setelah Nabi Saw wafat, Al-Qur’an telah dirubah oleh Abdullah bin Salam bin Ka’ab. Pendapat ini tentu gegabah. Sebab, bagi peminat kajian tafsir Al-Qur’an dan al-Hadits, nama Abdullah bin Salam tidak pernah disebut-sebut sebagai orang yang dekat dengan Nabi saw.
Proyek ”Baptisasi”
Memasuki abad ke-10, penentang Al-Qur’an semakin bertambah dengan berbagai cara dan bentuknya. Kali ini muncul nama Petrus Venerebalis (1094-1154). Ia adalah Kepala Biara Cluny di Perancis. Melalui dana yang besar, ia menugaskan sejumlah orang dalam sebuah tim penerjemahan Al-Qur’an. Usaha penerjemahan oleh Robert Ketton dalam bahasa Latin ini dinilai berhasil, kendati banyak penyimpangan di dalamnya. Jeriuh payah Ketton inilah yang kemudian dijadikan rujukan penerjemahan ke bahasa Italia, Jerman, dan Belanda.