Eramuslim.com – Sejak diturunkan oleh Allah Swt sebagai petunjuk dan rahmat bagi alam, Al-Qur’an telah ditentang kebenarannya oleh kaum kuffar dan musyrikin Quraisy Makah. Mereka tidak hanya mencaci wahyu Allah itu, tapi juga menudingnya sebagai cerita-cerita kuno atau asathir al-awwalin (QS. Al-Qalam: 15). Mereka juga menuduh Al-Qur’an adalah bikinan Nabi Saw.
Ketika Nabi Muhammad Saw dan para sahabatnya hijrah ke Madinah, cercaan terhadap Al-Qur’an juga terus berlanjut. Orang-orang kafir, kelompok Kristen, dan Yahudi seia-sekata menolak dan meragukan kebenaran ayat-ayat-Nya (QS Al-Baqarah: 23). Hal ini dapat dimaklumi, karena di antara tujuan kedatangan Al-Qur’an adalah merevisi dan meluruskan penyimpangan akidah dan pandangan hidup mereka.
Penentangan dan penolakan rupanya berlanjut terus pasca wafatnya Rasulullah Saw. Adalah Leo III, Kaisar Bizantium (717-741) yang berkata: “Mengenai kepunyaanmu (Al-Qur’an), kamu telah memberikan contoh-contoh yang salah, dan orang tahu, di antaranya, bahwa al-Hajjaj, kamu menyebutnya sebagai Gubernur Persia, menyuruh orang-orang untuk menghimpun buku-buku kuno, yang ia ganti dengan yang lain yang dikarangnya sendiri, menurut seleranya, dan yang ia propagandakan di mana-mana dalam bangsamu. ” (Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi Al-Qur’an, 2004)
Kalimat itu disampaikan Leo III sebagai jawaban atas surat yang dikirim khalifah ‘Umar bin Abdul ‘Aziz. Dalam surat balasan Leo III itu menunjukkan ia menuduh Al-Qur’an sebagai kitab yang dikarang sendiri oleh manusia sebagaimana kitab Injil.
Banyak ahli sejarah dan perbandingan agama menyebutkan, Injil ditulis dan disusun bukan pada Nabi Isa ‘alaihi al-salam (as), tapi ia dikerjakan setelah 200 tahun nabi Isa wafat. Itupun dengan berbagai versi dari para pendeta Kristen. Ada yang menyebut 65 sampai 73 penulis, tapi yang disepakati hanya empat, yakni, tulisan Matius Dia adalah salah satu kelompok Hawariyyun.