Saya sih cukup tersenyum saja membaca kritikan-kritikan itu. Lah, Anies-Sandi saat itu baru dua bulan memimpin Jakarta, tapi mintanya semua masalah cepat diselesaikan. Ya banjir, ya macet, harus selesai dalam satu kedipan mata. Wongsekelas Raden Bandung Bondowoso yang disebut sakti mandraguna saja perlu waktu satu malam untuk membangun seribu candi, apalagi Anies-Sandi yang tidak punya ajian apa pun, dituntut harus merampungkan masalah Jakarta yang super rumit hanya dalam tempo hitungan bulan. Apalagi banjir sudah melanda Jakarta sejak zaman Raja Purnawarman. Herannya, walau dihujani hujatan dan kritik, toh Anies-Sandi tetap mampu bekerja maksimal. Jika Bandung Bondowoso pendekar pilih tanding, Anies-Sandi bisa dibilang sebagai pemimpin pilih tanding. Pemimpin yang dipilih setelah bertanding secara adil, bukan memimpin karena dapat lungsuran jabatan.
Bayangkan saja, baru 100 hari bekerja, Anies-Sandi sudah menyelesaikan sejumlah program kerja yang dijanjikan selama masa kampanye. Bukan satu atau dua janji, tapi sekitar 10 janji kampanye sudah dituntaskan Anies-Sandi. Antara lain, menutup Alexis, menata pedagang kaki lima, memberikan Kartu Jakarta Pintar (KJP) Plus, one karcis one trip (OK Otrip), Oke Oce, rumah DP 0 rupiah, pajak melebihi target, membolehkan motor lewat Jalan MH Thamrin, Monas bebas digunakan untuk kegiatan keagamaan, budaya dan seni, serta mengizinkan becak beroperasi. Bagaimana rakyat tidak kagum dengan kinerja kepala daerah yang mendahulukan kepentingan rakyat kecil.
Kebijakan-kebijakan itu seperti magnet yang menarik simpati rakyat dari zona proletar alias wong cilik. Meski ada yang menentang dan tidak setuju dengan kebijakan Anies-Sandi, toh mereka hanya sebagian kecil. Apalagi Anies-Sandi memiliki hak dalam membuat kebijakan sebagai kepala daerah dan menjalankan roda pemerintahan. Dikritik kan juga bagus untuk kesehatan roda pemerintahan, daripada terus menerus dipuji bisa-bisa jadi antikritik.
Mengutip sindiran, atau mungkin lebih tepatnya ‘julukan’, yang diberikan sejumlah warganet untuk Anies-Sandi. Anies disebut gabener, dan Sandi sebagai wahgabener. Memang, Anies gabener. Sandi wahgabener juga. Anies di sini memang tidak bisa mengelak dari julukan gabener. Soalnya, saat Kementerian Perdagangan mengimpor 500 ribu ton beras, Anies malah pamer jika Pemprov DKI memiliki 300 hektare lahan pertanian yang hasil panennya berpotensi menjadi pemasok pangan warga Ibu Kota. Tak hanya itu, Anies bahkan ikut memanen padi di areal sawah milik Pemprov DKI di bilangan Cakung, Jakarta Timur. Anies seolah tidak mau kalah dengan daerah-daerah lain yang lebih dulu panen padi hingga surplus beras. Padahal Jakarta dijuluki hutan beton, tapi masih punya sawah dan bisa menghasilkan padi, tak kalah dengan daerah-daerah yang menjadi lumbung padi indonesia. Gak bener kan?! Kerja terus soalnya dia. Hasilnya juga transparan dan dipetik masyarakat.