eramuslim.com – Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman selesai menjalani pemeriksaan perdana Majelis Kehormatan MK (MKMK) terkait dugaan pelanggaran etik dan konflik kepentingan dalam memutus perkara batas usia capres-cawapres, Selasa (31/10/2023).
Setelah pemeriksaan yang berlangsung tak sampai 1,5 jam itu, paman Gibran Rakabuming Raka tersebut ditanya awak media soal alasannya bersikeras ikut mengadili perkara yang akhirnya menguntungkan keponakannya itu.
“Yang menentukan jabatan milik Allah Yang Maha Kuasa,” kata Anwar kepada wartawan.
Ia juga tetap merasa tidak perlu mengundurkan diri dalam perkara tersebut walaupun pemohon secara eksplisit menjadikan sosok Gibran sebagai alasan untuk menggugat batas usia capres-cawapres.
Menurut dia, yang dilihat untuk menentukan apakah ada konflik kepentingan atau tidak adalah si pemohon itu sendiri.
“Pemohonnya itu siapa? Kan begitu,” ucap Anwar.
Sebelumnya, pelapor dugaan etik hakim MK, Denny Indrayana membeberkan argumentasi hukum bahwa Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang diduga direkayasa oleh konflik kepentingan keluarga Presiden Joko Widodo seharusnya tidak sah.
Ia mengutip Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Di dalam beleid itu, tercantum jelas bahwa hakim yang terlibat konflik kepentingan dapat membuat putusan tidak sah jika ia tidak mundur.
“Lihat Pasal 17 Ayat (5) dan (6) UU Kekuasaan Kehakiman,” kata Denny selaku pelapor dalam sidang pemeriksaan MKMK, Selasa (31/10/2023).
Secara lengkap, ketentuan itu berbunyi:
(5) Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara.
(6) Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), putusan dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim atau panitera yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif atau dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Denny berpendapat bahwa beleid itu juga mengikat untuk hakim konstitusi walaupun MK bukan peradilan di bawah Mahkamah Agung (MA).
“Memang ada yang berpandangan bahwa ketentuan tidak sahnya putusan sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (5) dan (6) di atas hanya berlaku untuk Mahkamah Agung dan peradilan di bawahnya tetapi tidak untuk MK,” kata dia.
Namun, ia menyoroti, kata “hakim” di pasal itu ditulis dengan huruf “h” kecil, bukan “Hakim” yang dimaksudkan hanya untuk hakim agung dan peradilan di bawahnya.
“Yang artinya, (‘hakim’ dengan huruf ‘h’ kecil) artinya generik berlaku untuk semua hakim,” ucap Denny yang terhubung secara daring itu.
Denny menuturkan bagaimana prosedur hukum yang dibayangkannya dapat membuat Putusan 90 itu tidak sah.
Pertama, jika Ketua MK Anwar Usman terbukti melakukan pelanggaran etika berat, yang bersangkutan dapat dijatuhi pemberhentian tidak dengan hormat.
Kedua, dengan komposisi hakim berbeda, tanpa Anwar Usman, MK menetapkan Putusan 90 tidak sah karena ikut diputus oleh Anwar yang seharusnya mengundurkan diri karena mempunyai benturan kepentingan.
Ketiga, dengan komposisi Hakim yang berbeda tanpa Anwar Usman, MK memeriksa dan memutus ulang perkara nomor 90 itu.
“Pernyataan ‘tidak sah’ itu lebih tepat dilakukan oleh MK sendiri melalui pemeriksaan kembali perkara yang sama. Pemeriksaan kembali demikian tidak boleh dinyatakan melanggar prinsip nebis in idem,” kata dia.
Sebelumnya, Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie tak menutup peluang putusan etik yang dihasilkan nanti dapat membatalkan Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait syarat usia capres-cawapres.
“Belum bisa dijawab. Nanti (lihat) argumennya apa. Yakin bisa dibatalkan itu bagaimana? Apa alasannya? Nanti dicari dulu,” sebut Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie kepada wartawan, Kamis (26/10/2023).
Jimly mempersilakan Denny untuk menyertakan keterangan ahli yang paling baik untuk dapat mendukung laporannya.
“Jadi si pemohon itu bisa bawa ahli. Cari ahli yang paling ahli. Silakan. Terus saksi juga, nanti argumennya kita dengar, kenapa dia minta begitu,” ujar pendiri MK itu.
Ia tak menjawab secara tegas apakah norma yang ada memberi ruang pembatalan putusan MK berdasarkan putusan etik.
“Dia buktikan dulu bahwa pendapat dia benar. Nanti saya kan punya pendapat, tapi jangan (disampaikan) sekarang,” kata dia.
Dugaan pelanggaran kode etik ini mengemuka setelah MK yang diketuai ipar Presiden Joko Widodo, Anwar Usman, mengabulkan gugatan terkait syarat usia calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) pada Senin (16/10/2023) lewat putusan yang kontroversial.
Dalam putusan nomor 90/PUU-XXI/2023, MK merumuskan sendiri norma bahwa seorang pejabat yang terpilih melalui pemilu dapat mendaftarkan diri sebagai capres-cawapres walaupun tak memenuhi kriteria usia minimum 40 tahun.
Putusan ini memberi tiket untuk putra sulung Jokowi yang juga keponakan Anwar, Gibran Rakabuming Raka, untuk melaju pada Pilpres 2024 dalam usia 36 tahun berbekal status Wali Kota Solo yang baru disandangnya 3 tahun.
Gibran pun secara aklamasi disepakati Koalisi Indonesia Maju (KIM) sebagai bakal cawapres pendamping Prabowo Subianto sejak Minggu (22/10/2023) dan telah didaftarkan sebagai bakal capres-cawapres ke KPU RI, Rabu (25/10/2023).
Anwar membantah dirinya terlibat konflik kepentingan dalam memutus perkara ini, meski pendapat berbeda (dissenting opinion) hakim konstitusi yang tak setuju Putusan 90 itu mengungkap bagaimana keterlibatan Anwar mengubah sikap MK dalam waktu pendek.
Hingga kini, MK telah menerima secara resmi 18 aduan terkait dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim dari putusan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 tersebut.
Aduan tersebut bervariasi, mulai dari melaporkan Ketua MK Anwar Usman selaku paman Gibran, ada yang memintanya mengundurkan diri, ada yang melaporkan seluruh hakim konstitusi, ada yang melaporkan hakim yang menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion), dan aduan yang mendesak agar segera dibentuk MKMK.
MKMK menyatakan bakal membacakan putusan paling lambat pada 7 November 2023, sehari sebelum tenggat pengusulan bakal pasangan capres-cawapres pengganti ke KPU RI.
(Sumber: Kompas)