Petisi 56 anggota DPR, yang dimotori Fraksi Partai Damai Sejahtera (PDS), merupakan bentuk kepanikan mereka atas kesadaran umat Islam terhadap kehidupan Islami. ‘’Panik boleh-boleh saja, tapi ini paniknya sudah berlebihan,’’ ujar Muhammad Fauzi (Fraksi BPD dari unsur PBB), di Gedung DPR RI, Rabu (28/6).
Menurutnya, keberadaan perda-perda yang bernuansa syariat sudah berlangsung lama. Dan sejauh ini tidak memunculkan persoalan apapun bagi masyarakat setempat. Demikian pula pemeluk agama lain tidak terganggu dengan keberadaan perda-perda itu. ‘’Jadi sebenarnya itu bagian dari Islamphobia,’’ sambungnya.
Fauzi mengungkapkan,wacana perda bernuansa syariat akan mempengaruhi interaksi politik di DPR. Ini terbukti dengan munculnya penggalangan tanda-tangan kontra memorandum oleh 143 anggota DPR. ‘’Padahal semestinya hal itu tidak perlu terjadi,’’ paparnya.
Sementara itu, anggota F-PKS Komisi II DPR RI Suryama M Sastra menjelaskan, ada pandangan salah dari pihak-pihak yang ingin mempertentangkan Pancasila dan Islam. Hal ini terbukti dengan upaya membawa perda syariat bernuansa Islam dibenturkan dengan Pancasila.
Ia menegaskan, Pancasila merupakan karya umat Islam. Karena itu, tidak mungkin perda-perda yang diterbitkan bereberapa pemerintah daerah (pemda) itu bertentangan dengan Pancasila.
Menurutnya, bila ada anggapan bahwa perda-perda itu bermasalah sebaiknya, anggota DPR menyikapinya melalui mekanisme demokrasi yang disepakati.
‘’Mereka (56 penolak perda syariat) itu kan legislator, bikin saja usul inisiatif untuk mereview perda. Kenapa harus mendorong pemerintah untuk melakukan tindakan yang bisa menimbulkan disintegrasi,’’ sarannya.
Ditambahkannya, pihak yang merasa dirugikan sebaiknya menempuh prosedur judicial review ke MA. Bisa pula menempuh prosedur sengketa kewenangan konstitusional, yang dilakukan oleh lembaga negara. Atau, mereka bisa mendorong legislator di daerah melakukan evaluasi. (dina)