Merasa sukses memberangus teroris di Indonesia, dan menghancurkan jaringannya, yang menyebabkan gerakan teroris lumpuh. Kebijakan deteren terhadap teroris itu, yang menggunakan dua strategi, repressif yang menggunakan senjata, sehingga banyak mereka yang dituduh teroris telah "dihabisi".
Sekarang kebijakan deteren terhadap teroris bukan hanya dengan tindakan repressfi, membunuh yang dituduh teroris, dan ternyata masih lahir-lahir teroris-teroris baru, maka kebijakan baru yang ditempuh melakukan apa yang disebut de-radikalisasi. Kebijakan melakukan de-radikalisasi itu, lebih menyentuh akar masalahnya, yang terkait dengan ajaran agama (Islam), yang harus evaluasi. Termasuk pandangan-pandangan keagamaan mereka. Di mana menurut Ansyad keinginan menegakkan syariah Islam itu, sudah masuk dalam kategori kejahatan.
Maka sekarang dikumpulkan para ulama dan kiai untuk mereformulasi kembali ajaran Islam, yang tujuannya untuk mereduksi ajaran Islam, yang dapat melahirkan pandangan radikal, termasuk masalah jihad.
Dalam pernyataan di Brussel, Ansyaad Bay mengatakan, Indonesia memperlakukan aksi terorisme sebagai tindak kriminal, sehingga yang digunakan adalah pendekatan hukum. Pelaku yang tertangkap diproses secara hukum melalui proses peradilan independen.
Selanjutnya, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Jenderal Polisi (Purn) Ansyaad Mbai dalam seminar “Strategi Penanggulangan Terorisme Indonesia”, yang berlangsung di Kedutaan Indonesia (KBRI) di Brussel. Seminar ini diikuti berbagai pejabat Uni Eropa, para diplomat dan LSM, yang mempunyai perhatian terhadap masalah keamanan, terutama terkait dengan penanggulangan terorisme.
Seminar yang diselenggarakan bersama oleh KBRI Brussel dengan Egmont Institute di Kastil Val Duchesse, Brussel (29/6/2011), dihadiri oleh peserta yang sebagian besar wakil dari institusi Uni Eropa, Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Pertahanan Belgia, lembaga think-tank dan akademisi di Belgia.
Tampil sebagai pembicara utama, Jenderal Mbai memaparkan bahwa strategi pendekatan untuk penanggulangan terorisme yang dilakukan Indonesia itu dikembangkan dari berbagai pengalaman dalam menghadapi aksi-aksi terorisme sebelumnya.
“Penggunaan hard power dalam menghadapi terorisme tidaklah cukup. Oleh karena itu, Indonesia juga mengembangkan program deradikalisasi,” tegas Jenderal Mbai.
Menurut Jenderal Mbai, salah satu hal terpenting dalam pemberantasan terorisme adalah melawan ideologi radikal melalui berbagai pendekatan sosial.
Lebih lanjut Jenderal Mbai menekankan bahwa elemen penting lain dalam pemberantasan terorisme adalah kerjasama internasional, sebab tidak ada satu negarapun yang kebal terhadap ancaman terorisme.
“Kerjasama antar negara baik melalui skema bilateral maupun multilateral merupakan salah satu kunci untuk meminimalisasi ancaman terorisme,” papar Jenderal Mbai.
Sementara itu, Kepala Bagian Penanggulangan Terorisme Kemenlu Belgia, Dubes Thomas Baekelandt, yang tampil sebagai komentator mengatakan bahwa dia mengikuti dengan seksama perkembangan kapasitas Indonesia dalam upaya penanggulangan terorisme.
“Indonesia telah mencatatkan perkembangan dan prestasi menggembirakan dalam pemberantasan terorisme. Apa yang dilakukan oleh Indonesia sebenarnya dapat pula dikembangkan untuk Eropa, utamanya untuk meningkatkan awareness masyarakat guna pencegahan berkembangnya radikalisme,” ujar Dubes Baekelandt.
Duta Besar RI di Brussel Arif Havas Oegroseno dalam pernyataannya menyampaikan bahwa kunjungan Kepala BNPT ke Brussel adalah untuk menunjukkan secara langsung keberhasilan Indonesia dalam upaya penanggulangan terorisme serta membuka kesempatan saling tukar pengalaman dengan berbagai pihak di Eropa dalam menangani masalah terorisme.
Indonesia melaluli BNPT ingin menyampaikan keberhasilannya menanggulangi dan memberangus teroris di Indonesia, yang menggunakan cara preventif, repressif, dan persuasif, seperti melakukan de-radikalisasi terhadap kelompok-kelompok Islam, yang dianggap menjadi sumber ancaman keamanan nasional. (mh/dtk)