Justru, Pempov DKI Jakarta yang telah menetapkan aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) transisi sebagai upaya membatasi penyebaran pandemi Covid-19.
Kemudian, kepala daerah di lokasi penjemputan dan pernikahan anak Habib Rizieq, yakni Gubernur Banten, Wahidin Halim dan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, tidak dipanggil oleh kepolisian untuk klarifikasi layaknya Gubernur DKI Jakarta.
“Penanggulangan Covid-19 melalui PSBB, dasar aturannya bukan UU Kekarantinaan, tapi Peraturan Pemerintah,” ujar Agung kepada awak media di Jakarta, Senin (16/11).
Penetapan dasar pemanggilan itu juga membuat Agung mempertanyakan konsistensi pihak kepolisian dalam menegakan hukum.
Menurutnya, banyak kasus yang menyebabkan terjadinya kerumunan namun tidak ditindaklanjuti dengan penegakan hukum.
“Pada saat unjuk rasa menolak Omnibus Law, diikuti ratusan ribu massa kenapa polisi tidak melakukan pencegahan dan tetap membiarkan unjuk rasa berlangsung?,” imbuhnya.
Sebab itu, Agung mempertanyakan tidak ada satu pun panggilan atau teguran diberikan kepada pimpinan kepolisian yang bertugas mencegah terjadinya kumpulan massa pada saat aksi Omnibus Law.
Menurut Agung, kepolisian juga tidak bisa terbang pilih dengan hanya memanggil satu atau dua pimpinan daerah yang diduga melakukan pelanggaran protokol kesehatan.
Tapi harus tegak di semua daerah yang terjadi kumpulan massa dalam jumlah besar.
“Penjemputan Habib Rizieq Bandara Soetta dipenuhi ribuan massa. Apa Gubernur Banten dimintai klarifikasi? Begitu juga dengan ribuan orang yang berkumpul saat kampanye di Solo, apakah Walikota Solo dipanggil untuk klarifikasi. Ini ada apa?” tanya Agung.
Agung menduga Polri salah sasaran memanggil Anies Baswedan dalam kasus pernikahan dan Maulid Nabi yang diadakan Habib Rizieq.
“Jelas salah sasaran, pertama Anies tidak hadir dalam acara tersebut. Kedua, Pemprov DKI sudah pro aktif menjalankan peraturan protokol kesehatan dengan memberikan surat teguran dan menerapkan denda Rp 50 juta,” tegas Agung. (Psid)