Peningkatan angka pengangguran dan kemiskinan, merupakan bukti belum efektifnya kinerja pemerintah, karena itu DPR berhak mengeluarkan hak interpelasi (bertanya) untuk mengetahui penjelasan pemerintah tersebut.
Wakil Ketua DPRRI Muhaimin Iskandar mengungkapkan hal itu dalam jumpa pers "Evaluasi Perspektif Perkembangan Ekonomi 2006", di Gedung DPRRI, Jakarta, Kamis (14/12)
"Hak DPR untuk mengatasi stagnansi kinerja pemerintah, memberikan masukan melalui rapat kerja dan rapat dengar pendapat, meski sudah cukup keras, namun itu belum cukup efektif, sangat mungkin kita melakukan interpelasi seperti kasus busung lapar yang belum lama terjadi," ujarnya.
Berdasarkan grafik angka kemiskinan tahun 2006, jumlah kemiskinan meningkat menjadi 39,5 persen angka itu lebih tinggi dari tahun 2004 yang hanya 36,1 persen, dan tahun 2005 35,1 persen. Sedangkan untuk grafik pengangguran meningkat pada tahun 2006 menjadi 11 persen.
Menurutnya, pengangguran dan kemiskinan sebagai dampak dari birokrasi pemerintah yang belum berjalan dengan baik, menyebabkan investasi menurun sehingga berdampak secara langsung pada penyerapan tenaga kerja.
Lebih lanjut Muhaimin menegaskan, pemerintahan SBY-JK sebagai penerus bergulirnya proses reformasi, seharusnya mampu menerapkannya pada semua sektor termasuk ekonomi.
"Saya tidak tahu apa yang ada dibalik ini semua, apa main power yang tidak bagus atau leadership-nya, itu semua harus dipertanyakan, DPR layak menggugat," tukasnya.
Ia menambahkan, sebagai pemegang instrumen anggaran, diharapkan panitia anggaran DPR dapat saling bekerja sama dengan baik, dan lebih selektif dalam mengalokasikan dengan meminta bukti pada pemerintah tentang kemajuan yang sudah dilakukan.
Di tempat yang sama, Ketua Komisi VI DPRRI Didik J. Rachbini menjelaskan, pada tahun 2005 lalu DPRRI mengalokasikan dana untuk pembangunan langsung sebesar 90,2 trilyun, tetapi hanya direalisasikan oleh pemerintah sebesar 62,7 trilyun rupiah saja. Hal itu juga terjadi pada tahun ini, di mana DPRRI mengalokasikan belanja modal sebesar 107,3 trilyun, tetapi hanya diimplementasikan 34,4 trilyun rupiah sampai dengan bulan September 2006.
"Birokrasi tidak bekerja efektif. Sudah ada duitnya, ada proyeknya, ada jalan untuk mengembangkan sektor riil, tapi tidak realisasikan," imbuhnya. (novel)